UNAIR NEWS – Beberapa pekan ini, kasus COVID-19 di Indonesia mengalami kenaikan. Mengutip dari laman covid19.go.id kasus positif COVID-19 terkonfirmasi bertambah sebanyak 27.913 pada Sabtu (03/07/2021). Angka tersebut dianggap masih jauh di bawah dari angka kasus sebenarnya. Hal itu dikarenakan masih lemahnya tracing dan testing rate.
Pakar biostatistika-epidemiologik Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Windhu Purnomo, dr., MS., mengatakan bahwa kenaikan tajam tersebut dipicu oleh beberapa faktor. Salah satunya, varian virus baru yang datang dari India yaitu, COVID-19 varian Delta. Varian Delta tersebut 98% lebih menular daripada varian originalnya.
“Orang berpapasan saja dapat menularkan virus tersebut. Selain itu, virus ini juga memiliki kemampuan menghindari antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh (antibody escape). Maka dari itu, mulai sekarang kita harus memakai masker double,” tukas Windhu.
Windhu mengatakan bahwa kenaikan tersebut merupakan dampak dari tidak patuhnya masyarakat terhadap protokol kesehatan (prokes). Masyarakat masih banyak yang tidak percaya terhadap COVID-19, hal tersebut menyebabkan presepsi resikonya pun rendah. Namun, ia juga mengatakan bahwa pemerintah ikut andil dalam hal tersebut.
“Pemerintah juga tidak tegas terhadap masyarakat yang melanggar prokes. Kebijakan-kebijakan kontradiktif, mobilitas yang masih berlangsung, keduanya bertabrakan dengan prinsip-prinsip prokes sendiri. Hal itu disebabkan karena negara kita masih mencoba menyeimbangkan antara ekonomi dan kesehatan, seharusnya pemerintah lebih mementingkan kesehatan di era pandemi ini,” jelasnya.
Mulai dari Sabtu (03/07/2021) hingga Selasa (20/07/2021) pemerintah akan mulai memberlakukan PPKM darurat. Menurut Windhu, kebijakan tersebut merupakan langkah bagus pemerintah dalam menanggapi lonjakan kasus positif tersebut. Namun, kebijakan tersebut memiliki lubang yaitu, tidak adanya pembatasan mobilitas.
“Pemerintah harus melakukan evaluasi pada 6 hari pertama setelah pemberlakuan PPKM darurat tersebut. Bila PPKM darurat ini tidak dapat menekan penularan secara signifikan, maka kebijakan harus dikoreksi kembali. Koreksi itu terletak pada pembatasan mobilitas,” ungkapnya.
Selanjutnya, Windhu juga memaparkan tentang vaksinasi yang tidak dapat dijadikan solusi dalam waktu dekat ini. Sebab, jumlah vaksin yang telah dimiliki Indonesia belum mencapai sepertiga penduduk dengan jumlah vaksinasi yang masih berada di angka 40 juta dosis. Sementara, pasokan vaksin Indonesia masih bergantung dengan luar negeri.
Ia menjelaskan, hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan tracing dan testing rate, membatasi mobilitas, dan mendisiplinkan masyarakat dalam prokes. Indonesia memiliki undang undang (UU) wabah dan UU kekarantinaan kesehatan. Kedua UU tersebut harus dapat dijalankan.
“Pada UU tersebut terdapat pasal yang menyatakan bahwa mereka yang menghambat penanganan pandemi, bisa mendapatkan sanksi pidana. Jangan ragu untuk menghukum pidana pelanggar prokes. Namun, masyarakat harus diedukasi terlebih dahulu, tidak bisa seenaknya menghukum,” tutur pakar biostatistika-epidemiologik tersebut.
Pada akhir, ia menyampaikan, perguruan tinggi harus menjadi corong berbasis sains. Perguruan tinggi harus mampu meyakinkan pemerintah dan masyarakat, bahwa penanganan pandemi harus berbasis pada sains dan data. Kemudian, perguruan tinggi membantu penelitian di bidang apapun yang membantu menangani pandemi, dan terakhir adalah pengabdian masyarakat. (*)
Penulis: Alysa Intan Santika
Editor: Nuri Hermawan