Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia. Dengan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer, secara otomatis kondisi geografis ini merupakan modal dari alam yang sangat menjanjikan untuk berbudidaya. Budidaya di daerah pantai yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan yaitu budidaya rumput laut. Rumput laut sejak tahun 2000an telah menarik perhatian sehingga telah ditetapkan sebagai salah satu dari komoditas ekonomis penting oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Tercatat sebanyak kurang lebih 555 jenis rumput laut dan tiga diantaranya sudah dibudidayakan secara intensif. Rumput laut yang biasa dibudidayakan di Indonesia ada 3 jenis yaitu Kappaphycus alvarezii, Gracillaria sp., dan Euchema spinosum, sedangkan jenis rumput lainnya yang juga telah banyak dikonsumsi seperti Sargassum sp. masih didapat langsung dari alam.
Proses budidaya ini telah menyumbang bahan mentah rumput laut dalam jumlah besar. Rumput laut jenis K. alvarezii dan E. spinosum banyak dibudidayakan karenaharga jual lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Dikarenakan harga yang menjanjikan, para petani berlomba lomba untuk memproduksi K. alvarezii dan E. spinosum sehingga menyebabkan produksi sumber bahan mentah di Indonenesia menjadi salah satu produsen terbesar rumput laut dunia. Berbeda dengan kedua spesies di atas, jenis Sargassum sp. dapat diperoleh melimpah dari alam sehingga nilai ekonomis tidak terlalu tinggi.
K. alvarezii dan E. spinosum mempunyai nilai ekonomis penting karena merupakan penghasil karaginan sedangkan Sargassum sp. juga sudah banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan merupakan penghasil alginat. Karaginan dan alginat dapat digunakan sebagai bahan baku untuk farmasi, kosmetik, terlebih lagi industri makanan. Disisi lain, rumput laut juga merupakan sumber bahan alami bioaktif. Bahan bioktif tersebut yaitu polisakarida sulfat, protein, pigmen karotenoid, polyunsaturated fatty acids (PUFA), mineral essensial, vitamin dan bahan metabolisme lainnya. Bahan bioaktif dari rumput laut tersebut merupakan bahan yang dapat berfungsi sebagai bahan antioksidan. Berdasarkan potensi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian bagaimana potensi bahan aktif yang dapat diekstrak dari rumput laut khususnya dari ketiga jenis di atas. Potensi bahan antioksidan dapat diketahui melalui uji hambatan terhadap radikal bebas 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) oleh tiga jenis rumput laut yang diekstrak menggunakan pelarut organik yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa ekstrak rumput laut yang memiliki potensi sebagai antioksidan. Antioksidan tertinggi dimiliki Sargassum sp. (etil asetat), kemudian diikuti K. alvarezii (etil asetat), Kappaphycus alvarezii (etanol), E. Spinosum (etil asetat), E. Spinosum (etanol) dan Sargassum sp. (etanol). Penambahan bahan ekstrak tersebut menyebabkan proses pemucatan terhadap senyawa Radikal Bebas DPPH sebagai mekanisme hambatan radikal bebas. Bahan aktif yang dimiliki rumput laut memiliki mekanisme peredaman terhadap senyawa radikal bebas DPPH. Bahan aktif dari rumput laut dapat memberikan atom hydrogen terhadap senyawa DPPH.
Hipotesa kami, penambahan atom hydrogen menyebabkan DPPH menjadi stabil sehingga menunjukkan pemucatan warna dari warna ungu menjadi kuning. Sampel bioaktif dari rumput laut tersebut diatas dapat diduga memiliki bahan antioksidan karena dapat memberikan pemucatan pada warna DPPH akibat proses pemberian donor atom hidrogen terhadap pereaksi Radikal Bebas DPPH.
Sampel tersebut memberikan hambatan terhadap radikal bebas dengan derajat hambatan yang berbeda dibandingkan dengan BHT. BHT merupakan salah satu standard baku yang digunakan sebagai antioksidan sintetis. BHT merupakan bahan antioksidan sintetik yang banyak digunakan dalam bahan suplemen pada makanan. Namun penggunaan BHT telah banyak dilarang diberbagai negara karena BHT diketahui dapat bersifat karsinogenik. Dari hasil penelitian kami, antioksidan dari extrak rumput laut menunjukkan aktifitas antioksidan yang sama dengan BHT sehingga kami berpendapat penggunaan antioksidan alami lebih baik digunakan dibandingkan penggunaan antioksidan sintetik. Bahan ekstrak rumput laut diatas dapat digunakan sebagai bahan antioksidan alternatif pengganti BHT yang relatif lebih aman untuk dikonsumsi.
Bahan ekstrak yang digunakan sebagai antioksidan merupakan bahan ekstrak kasar. Ekstrak kasar diperoleh dari proses ekstraksi dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya. Selama proses ekstraksi warna pelarut berubah warna seperti menjadi hijau muda atau hijau tua. Dalam penelitian kami, warna hijau pada K. alvarezii dan Sargassum sp. lebih pekat dibandingankan E. spinosum. Warna hijau menunjukkan adanya zat terlarut yaitu diduga klorofil dan pigmen fotosintesis lainnya yang bersifat antioksidan serta bahan metabolit sekunder yang larut dalam pelarut polar.
Dari hasil temuan yang kami dapat, kami menyimpulkan bahwa ketiga spesies rumput laut selain dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan aktif yang memiliki potensi antioksidan yang tinggi. Penelitian lebih lanjut yaitu bagaimana mengemas dan mengolah bahan aktif dalam bentuk produk yang siap konsumi merupakan tantangan bagi peneliti, namun memiliki prospek yang sangat menjanjikan karena sangat bermanfaat bagi dunia Kesehatan dan industry makanan
Penulis: Annur Ahadi Abdillah
Sumber: https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/679/1/012034