UNAIR NEWS – Himpunan Mahasiswa (Hima) D3 Bahasa Inggris Fakultas Vokasi Universitas Airlangga (UNAIR) sukses mengadakan webinar bertajuk ‘Cultural Debate Summit’. Diselenggarakan secara daring, acara itu bertujuan membantu mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan debat untuk menjadi debater yang hebat.
Webinar kali ini diisi langsung oleh pembina Hima D3 Bahasa Inggris FV UNAIR, yakni Angkita Warsito Kirana, M.Hum. Di awal materi, Angkita sapaan akrabnya menyampaikan definisi debat merupakan suatu argumen yang dirangkai sedemikian rupa.
“Kata kunci di sini adalah argumen, ya (debat) tidak bisa dilepaskan dari argumen,” ujarnya.
“Yang dimaksud debat itu sendiri merupakan suatu pertandingan yang mempertandingkan ide-ide yang didiskusikan dari dua sisi berlawanan,” imbuhnya.
Menurut penjelasan Angkita, debat dan critical thinking merupakan dua hal yang saling berkaitan. Ia menegaskan dalam berdebat dibutuhkan pengetahuan yang luas dari bidang tertentu, agar semua orang memahami maksud kita. Debat juga dilakukan secara spontan, lalu dengan waktu yang sangat singkat kita diharapkan untuk bisa memberikan suatu tanggapan yang kritis.
“Critical thinking melatih kita untuk berpikir lain, tidak hanya sekedar menerima apa yang kita lihat,” katanya.
Selama berdebat kita dituntut untuk membuat argumen yang sangat berbobot, tepat sasaran dan dapat diterima. Angkita menjelaskan inti debat merupakan membuat orang lain yakin dengan argumen yang kita anggap benar. Dengan konteks struktur dan waktu pemikiran yang sangat cepat, diharapkan dapat melatih otak untuk berpikir lebih cepat.
“Dengan (berdebat) dalam konteks academic debate, kalian akan berlatih untuk mengasah tuturan kalian, mengasah ini (otak) agar berpikir lebih luas,” tutur Angkita.
Angkita lanjut menjelaskan pemahaman terkait cultural issue, namun sebelum itu ia mengajak untuk memahami soal apa itu culture. Menurutnya budaya merupakan nilai-nilai yang tertanam pada diri kita yang mempengaruhi perbuatan kita. Contohnya budaya/karakter orang-orang Indonesia terutama suku Jawa yang terkadang tidak terus terang dalam menyampaikan suatu persoalan. Budaya dapat dipahami berbeda oleh dua orang yang memiliki latar belakang berbeda. Oleh karena itu cultural issues muncul yang disebabkan oleh kesalahpahaman dari dua budaya yang berbeda.
“Penting banget kita harus memiliki mata yang tajam tentang budaya. Kita harus melihat dengan jeli tentang budaya itu, supaya ketika debat nanti hal-hal seperti ini bisa jadi senjata kita untuk berargumen,” tuturnya.
Untuk menjaga agar semua argumen kita aman saat berdebat, kita juga harus melihat sensitivitas cultural issues. Di ranah academic debate hal-hal yang sensitif tidak masalah untuk didebatkan. Selama isu tersebut diangkat secara formal, maka boleh saja untuk didebatkan. Kita juga perlu melihat siapa saja audiensnya ketika akan membahas suatu hal yang sensitif. Pemberian data pada argumen kita juga harus rasional, agar saat membahas sesuatu yang sensitif akan terasa pembahasan yang formal.
“Jadi untuk isu-isu yang sensitif tidak perlu khawatir, selama argumen kita memadai dan terstandarisasi dimanapun itu argumen kita tidak akan menyinggung,” cetusnya.
“Semisal pendeskripsian data tadi diterima, maka isu sensitif pun akan jadi tidak sensitif karena data yang diberikan logis,” imbuhnya.
Terkait argumen, Angkita merujuk pada kamus yang mendefinisikan suatu satu/beberapa pernyataan yang digunakan untuk meyakinkan orang bahwa opini seseorang merupakan suatu hal yang benar. Suatu kalimat pernyataan belum dapat dikatakan sebagai argumen jika belum ada alasannya. Ia menegaskan bahwa bagian dari argumen yaitu ide, analisis, dan bukti.
“Ketika (kalimat) sudah diberi alasan, ide pendukung, maka kalimat itu sudah menjadi suatu argumen,” tegasnya.
Angkita juga menambahkan teknik bantahan yang benar. Cari argumen lawan bicara yang dirasa fakta, logika, atau moralnya kurang (cacat). Kemungkinan juga argumen lawan salah interpretasi argumen lawan bahkan salah topik. Selain itu terkadang terjadi kepanikan pada tim lawan yang argumennya tidak saling menguatkan, bahkan akan saling kontradiksi. Teliti juga argumen lawan yang tidak relevan.
“Yakinkan juri bahwa argumen tim Anda adalah yang ‘paling benar’ dan tepat sasaran,” tandasnya. (*)
Penulis: Muhammad Ichwan Firmansyah
Editor: Feri Fenoria