Pengembangan karir telah menjadi paradoks bagi hampir semua organisasi. Organisasi menghadapi situasi dilematis tentang cost and benefit dari pelatihan dan pengembangan karyawan. Pada prinsipnya, semakin karyawan mengembangkan kompetensinya maka hal tersebut akan meningkatkan peluang kerja baik di organisasi tempat mereka bekerja saat ini atau di organisasi lain. Meningkatnya peluang ini akan meningkatkan niat mereka untuk pindah ke organisasi atau perusahaan lain. Besarnya investasi yang dikeluarkan oleh organisasi dalam hal pelatihan dan pengembangan karyawan yang bertujuan untuk peningkatan kinerja, di sisi lain justru bisa membahayakan perusahaan karena karyawan kurang berkomitmen pada organisasi saat ini seiring dengan meningkatnya kompetensi mereka. Paradoks terkait pengembangan karier ini muncul ketika organisasi berusaha untuk meningkatkan kompetensi dari karyawannya. Mereka yang cenderung memiliki kinerja terbaik akan menjadi aset berharga bagi organisasi. Namun pada saat yang sama, organisasi akan menghadapi kemungkinan bahwa karyawan dengan kinerja terbaik justru lebih kecil kemungkinannya untuk tetap bertahan dengan perusahaan karena mereka memiliki pilihan pekerjaan yang lebih menarik di luar sana. Hal ini disebabkan karena karyawan merasa bahwa mereka memiliki tingkat kelayakan kerja yang tinggi.
Survei terbaru dari Badan Pusat Statistik, Indonesia saat ini memiliki 180 juta tenaga kerja, 63 juta berusia 20-35 tahun atau generasi milenial. Dengan karyawan milenial yang saat ini sebagian besar merupakan tenaga kerja, hal ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan untuk organisasi. Akan menjadi peluang bagi organisasi karena generasi milenial dicirikan sebagai generasi yang cepat belajar. Di sisi lain, millennial juga dianggap sebagai tantangan karena millennial terus ingin mempelajari hal-hal baru, yang menyiratkan bahwa seiring dengan bertambahnya keterampilan dan kompetensi saat ini, akan membuat mereka merasa sebagai orang yang layak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaan saat ini. Terlebih lagi berdasarkan penelitian Deloitte Indonesia, tren pengunduran diri secara sukarela meningkat dari 8% pada 2018 dan 11% pada tahun 2019.
Kelayakan kerja secara internal didefinisikan sebagai persepsi karyawan mengenai kapasitas karyawan untuk organisasi mereka saat ini. Dengan kata lain, hal tersebut adalah keyakinan karyawan untuk tetap dipekerjakan dan dipertahankan oleh organisasi. Namun, pengembangan karyawan dapat dikaitkan dengan jalur retensi dan meminimalkan pergantian risiko melalui persepsi kelayakan kerja internal (yaitu, persepsi mengenai adanya alternatif di antara karyawan-karyawan dalam suatu perusahaan). Sedangkan kelayakan kerja eksternal merupakan persepsi karyawan tentang peluang untuk mendapatkan peluang pekerjaan di luar tempat kerjanya saat ini. Persepsi mengenai kelayakan kerja secara eksternal adalah keyakinan individu dalam melintasi batas-batas organisasi. Selanjutnya, persepsi kerja eksternal adalah persepsi keyakinan diri dalam menemukan pekerjaan baru di organisasi lain. Karyawan yang memiliki persepsi kemampuan kerja eksternal yang tinggi yakin akan kinerja mereka di organisasi lain, berkontribusi pada organisasi pasar tenaga kerja yang berbeda.
Hasil penelitian ini mengkonfirmasi terjadinya paradoks dalam pengembangan karir. Ketika organisasi mendorong karyawan untuk mengembangkan kompetensi yang mereka miliki maka hal tersebut akan meningkatkan kemampuan kerja mereka. Semakin tinggi kelayakan kerja yang mereka rasakan, terutama kelayakan kerja di luar organisasi saat ini atau eksternal, akan mengurangi niat karyawan untuk tetap bekerja dengan peruahaan saat ini. Namun menarikanya adalah, ketika karyawan tidak ingin mengembangkan kompetensinya, maka hal ini akan menurunkan kelayakan kerjanya. Kelayakan kerja secara internal dianggap sebagai sumber daya bagi karyawan karena semakin tinggi hal tersebut, semakin mereka akan berusaha untuk tetap bertahan dengan organisasi saat ini. Dengan demikian, kelayakan kerja secara internal yang tinggi akan membuat pekerja cenderung untuk bertahan dengan organisasi mereka saat ini. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa modal karir yang terdiri dari human capital, social capital, dan adaptability adalah predikator yang penting terhadap kelayakan kerja seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan tingkat kemampuan kerja yang lebih tinggi akan membuat mereka memiliki modal karir yang tinggi pula. Kelayakan kerja mempengaruhi niat karyawan untuk keluar dari pekerjaan saat ini. Sebaliknya, kemampuan kerja internal memiliki dampak negatif terhadap keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan saat ini.
Penulis: Jovi Sulistiawan, S.E., M.SM.
Link Jurnal: https://dl.acm.org/doi/10.1145/3457640.3457647