Residu antibiotik dalam bahan makanan atau olahannya beresiko terjadinya resistensi bila terakumulasi dalam tubuh, karena konsumsi yang berkepanjangan. Fenomena ini ditengarai terjadi di bidang budidaya ikan yang tidak profesional. Sementara, produk ikan dan hasil olahannya termasuk salah satu komoditas ekspor. Pada tahun 2014 budidaya perikanan Indonesia telah mencapai 20,8 juta ton dibandingkan tahun 2013 sebesar 19,4 juta ton. Jenis budidaya yang berkontribusi terbesar adalah budidaya ikan air tawar yang mencapai 28,2 % dari total jenis budidaya perikanan di Indonesia. Budidaya ikan air tawar di Indonesia merupakan sektor usaha yang sangat potensial sehingga berperan untuk memenuhi kebutuhan protein manusia (Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2015).
Jenis ikan air tawar yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia dan sangat popular serta digemari oleh masyarakat adalah ikan lele (Clarias batrachus) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Kedua jenis ikan ini sangat mudah budidayanya. Ikan lele dan ikan nila merupakan spesies ikan air tawar yang memiliki potensi pasar yang terus meningkat. Data Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Republik Indonesia tahun 2011 menyatakan bahwa produksi perikanan budidaya kolam didominasi ikan lele sebesar 330.865 ton dan ikan nila sebesar 277.517 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Republik Indonesia, 2011).
Penyakit akibat infeksi bakteri telah banyak ditemukan pada budidaya perikanan di Indonesia. Beberapa hasil penelitian telah melaporkan keragaman penyakit akibat infeksi bakteri pada ikan nila yang didominasi oleh Aeromonas hydrophila, Pseudomonas sp. dan Streptococcus sp. Aeromonas hydrophila telah banyak menimbulkan kerugian pada budidaya ikan lele. Berbagai macam antibiotika telah banyak digunakan untuk pengobatan dan pencegahan penyakit menular pada ikan budidaya, seperti streptomisin dan kanamisin. Streptomisin terutama digunakan di tempat penetasan telur ikan sebagai perawatan jangka panjang, sedangkan kanamisin digunakan untuk mengobati infeksi kulit pada ikan. The European Agency for The Evaluation of Medical Products tidak mengizinkan streptomisin sulfat dan kanamisin sulfat digunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit akibat bakteri pada ikan budidaya.
Penyalahgunaan streptomisin dan kanamisin dapat meninggalkan residu pada ikan, sehingga menyebabkan resistensi. Penyebaran bakteri yang resisten terhadap antibiotika kepada manusia salah satu jalurnya melalui rantai makanan yang disebabkan oleh konsumsi makanan terkontaminasi antibiotika. Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2015) menyatakan produk perikanan harus bebas dari residu obat, bahan kimia, bahan biologis dan kontaminan lainnya. Badan Standardisasi Nasional Indonesia menetapkan batas maksimum residu streptomisin dalam daging sebesar 0,1 µg/g (SNI, 2000). The European Agency for The Evaluation of Medical Products menetapkan batas residu maksimum kanamisin dalam daging sebesar 0,1 µg/g (Jin et al., 2006).
Beberapa metode telah dilakukan untuk mendeteksi residu streptomisin dalam berbagai jaringan hewan, yaitu LC-MS dengan batas deteksi 0,025 µg dan rekoveri 78-101 % Adapun metode yang digunakan untuk mendeteksi residu kanamisin dalam berbagai jaringan hewan, yaitu ELISA dengan batas deteksi 0,05 µg dan rekoveri 85 % dan HPLC menggunakan detektor UV dengan batas deteksi 0,03 µg dan rekoveri 86,8 % (Chen et al., 2009). Metode tersebut membutuhkan laboratorium yang memadai dengan tahapan analisis yang kompleks.
British Pharmacopoeia telah menetapkan penggunaan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk identifikasi streptomisin sulfat dan kanamisin sulfat dalam bahan baku dengan penampak noda 0,2% 1,3-dihidroksinaftalen dalam alkohol (British Pharmacopoeia Commision, 2018). Metode ini sederhana, waktu analisis singkat dan praktis untuk analisis beberapa analit secara simultan. Metode KLT bila dikombinasikan dengan metode deteksi biologis merupakan teknik yang efektif untuk analisis antibiotika dalam sampel kompleks seperti KLT-Bioautografi. Berbagai teknik KLT-bioautografi seperti bioautografi langsung, bioautografi imersi dan bioautografi kontak telah banyak digunakan untuk mendeteksi senyawa antibiotika. Pada KLT-Bioautografi langsung dan imersi, media cair yang telah berisi bakteri disemprot atau dituang langsung pada lempeng KLT yang menyebabkan bakteri tidak dapat tumbuh secara maksimal dan merata sehingga teknik ini memiliki sensitifitas rendah. Sedangkan pada KLT-Bioautografi kontak, lempeng KLT diletakkan diatas media padat yang telah diinokulasikan bakteri sehingga terjadi difusi senyawa antibiotik dari lempeng KLT ke media agar yang telah diinokulasi bakteri uji (Marston, 2011). Isnaeni (2020) telah melakukan melaporkan hasil penelitian terkait KLT-Bioautografi kontak untuk mendeteksi streptomisin sulfat dalam udang berdasarkan aktivitas streptomisin sulfat yang menghambat pertumbuhan bakteri E. coli ATCC 8739 dengan batas deteksi 0,30 µg dan rekoveri 86,93 %. Uji batas residu streptomisin sulfat dan kanamisin sulfat secara simultan dalam sampel ikan dapat dilakukan dengan metode KLT-Bioautografi kontak.
Metode analisis residu dengan konsentrasi analit yang rendah dalam matriks kompleks masih menjadi tantangan dalam mencapai batas deteksi yang rendah. Jenis ikan air tawar seperti ikan lele dan ikan nila memiliki kadar protein yang tinggi. Streptomisin sulfat dan kanamisin sulfat sangat terikat pada protein karena pembentukan kompleks kation-anion yang tidak larut sehingga teknik ekstraksi streptomisin sulfat dan kanamisin sulfat dari protein berperan penting dalam analisis multiresidu antibiotika.
Penulis : Isnaeni, Dr., Apt., M.S.
Informasi detail riset ini dapat diakses pada artikel kami di: