Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah cara penting untuk meningkatkan transparansi (Kaymak dan Bektas, 2017), akuntabilitas (Ferrero-Ferrero et al., 2013), reputasi (Aguilera-Caracuel dan Guerrero-Villegas, 2018), legitimasi perusahaan (Martinez-Ferrero et al., 2015), kesadaran akan praktik lingkungan dan sosial perusahaan (Chang et al., 2017), dan kinerjanya (Michelon et al., 2015). Berdasarkan penelitian Center for Governance, Institutions, and Organizations of the National University of Singapore (NUS), kualitas pengungkapan CSR di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Selain itu, 53,6% perusahaan publik di Indonesia mengungkapkan informasi CSR dalam laporan tahunan, sedangkan sisanya sebesar 46,4% perusahaan publik di Indonesia tidak memiliki kepedulian dalam mengungkapkan informasi CSR dalam laporan tahunan. Mengingat tingkat pengungkapan CSR yang rendah, pemerintah telah mengambil berbagai inisiatif untuk meningkatkan kesadaran perusahaan melalui berbagai peraturan dan pemberian penghargaan kepada entitas yang peduli dengan keberlanjutannya.
Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan untuk meningkatkan kesadaran para pelaku bisnis tentang CSR. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 bahwa semua perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang beroperasi dan/atau berhubungan langsung dengan sumber daya alam wajib mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Awalnya, pengungkapan CSR dalam laporan keuangan atau laporan keberlanjutan bersifat sukarela untuk manajemen. Namun, setelah diterbitkannya Peraturan OJK No. 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, semua perusahaan publik wajib menyusun laporan keberlanjutan yang menjelaskan kondisi ekonomi perusahaan, tanggung jawab sosial, dan lingkungan. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan juga mengeluarkan peraturan No. XK6 Tahun 2006 yang mewajibkan semua perusahaan publik untuk mengungkapkan kegiatan dan biaya yang terkait dengan CSR perusahaan dalam laporan keuangannya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas juga menjelaskan bahwa direktur utama atau CEO memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh untuk melaksanakan CSR sesuai dengan rencana kerja tahunan perusahaan, yang meliputi rencana kegiatan dan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Dengan demikian, CEO memiliki kendali yang besar dalam memastikan bahwa perusahaan memiliki kesadaran pengungkapan CSR yang tinggi. Berdasarkan teori upper eselon, CEO memainkan peran penting dalam alokasi sumber daya dan pengambilan keputusan strategis. Terkait dengan CSR perusahaan, timbul pertanyaan apakah karakteristik CEO dapat mempengaruhi pengungkapan CSR?
Melinda Cahyaning Ratri, Iman Harymawan, dan Khairul Anuar Kamarudin telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik CEO yang meliputi kesibukan, masa kerja, dan frekuensi pertemuan CEO dengan pengungkapan CSR. Penelitian dilakukan pada 624 observasi dari 78 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan database Global Reporting Initiative (GRI) periode 2010–2018 dengan menggunakan regresi ordinary least square dengan pendekatan multy-way cluster dan fixed effect model pada STATA 15.0. Dalam pengolahan data juga dilakukan dengan menggunakan model Coarsened Exact Matching dan Heckman two-stage sebagai analisis tambahan.
Hasil menunjukkan bahwa perusahaan dengan CEO yang sibuk dan masa kerja yang panjang cenderung menghasilkan pengungkapan CSR yang lebih sedikit. Hal ini karena CEO yang sibuk cenderung sulit untuk mengalokasikan waktu dan perhatian mereka secara optimal dalam mengevaluasi dan memahami isu-isu terkait CSR, dengan demikian mereka tidak dapat mengembangkan strategi pengungkapan CSR perusahaan dengan tepat. Selain itu, CEO dengan masa kerja yang panjang cenderung menghindari risiko dan merasa nyaman dengan posisinya dan lebih mementingkan tujuan pribadinya, sehingga enggan melakukan perubahan untuk mencapai tujuan keberlanjutan perusahaan. Perusahaan dengan CEO yang sering menghadiri rapat dewan cenderung menghasilkan pengungkapan CSR yang lebih banyak karena rapat dewan dapat memfasilitasi CEO untuk mendapatkan lebih banyak informasi, ide, dan saran untuk menjawab berbagai masalah dan isu yang berkaitan dengan keberlanjutan perusahaan. Menariknya, penelitian ini menemukan bahwa kerugian perusahaan dapat memperlemah hubungan negatif antara kesibukan CEO dan masa kerja dengan pengungkapan CSR dan memperlemah hubungan positif antara frekuensi pertemuan CEO dan pengungkapan CSR perusahaan.
Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi terhadap literatur dalam tata kelola perusahaan dan pelaporan keberlanjutan serta mendukung teori upper echelon. Penelitian ini juga memiliki implikasi bagi perusahaan dan pemegang saham dalam hal pengangkatan CEO dan mengevaluasi peran dan tanggung jawab mereka, di mana perusahaan dapat mempertimbangkan untuk membatasi kesibukan dan masa jabatan CEO, serta meningkatkan kesadaran CEO untuk menghadiri rapat dewan, dalam rangka memperjuangkan keberlangsungan perusahaan. Bagi CSR Rating Agency dan Business Entity Social Responsibility Forum, penelitian ini dapat dipertimbangkan dalam memahami, menilai, dan memprediksi tingkat pengungkapan CSR.
Penulis : Iman Harymawan, S.E., MBA., Ph.D
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://www.mdpi.com/2071-1050/13/10/5567
Ratri, M. C., Harymawan, I., & Kamarudin, K. A. (2021). Busyness, Tenure, Meeting Frequency of the CEOs, and Corporate Social Responsibility Disclosure. Sustainability, 13(10), 5567.