Kritik merupkan tindakan linguistik yang rawan mengancam/mencoreng muka penerima kritik. Akan tetapi, tidak hanya kritik yang rawan mengancam muka. Respon negatif atas kritik dari penerima kritik pun bisa mengancam balik muka pelaku kritik. Jadi, kritik dan respon (verbal) negatif atas kritik merupakan sepasang tindakan linguistik yang memiliki watak yang sama, yaitu rawan mengancam muka dan bisa memicu timbulnya konflik antara pelaku kritik dan penerima kritik. Untuk mengurangi kadar ancaman itu, respon negatif atas kritik dalam masyarakat Jawa biasanya diekspresikan dengan menggunakan strategi kesantunan tertentu meskipun kesantunan itu tidak mungkin bisa mengurangi kadar ancaman sampai pada titik nol.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena yang hendak diungkapkan adalah makna respon negatif atas kritik dalam masyarakat budaya Jawa yang bersifat kontekstual. Data penelitian ini berupa tuturan-tuturan (utterances) yang berisi respon negatif atas kritik. Tuturan-turan ini dikumpulkan dengan menggunakan metode Discouse Completion Task (DCT). DCT dibuat dalam bentuk narasi yang menggambarkan konteks tertentu yang dibangun berdasarkan interaksi di antara tiga parameter, yaitu ± Power (±P), ± Dintance (±D), dan strategi kritik yang digunakan oleh pelaku kritik, yakni Direct Criticism atau Indirect Criticism (± DC). Hasil interaksi tersebut akan membentuk berbagai konteks situasi yang tergambar dalam DCT, yaitu (+DC+P+D), (+DC+P-D), (+DC-P+D), (+DC -P-D), (-DC +P+D), (-DC +P-D), (-DC-P-D), (-DC-P+D). Setiap DCT menggambarkan satu jenis konteks dan konteks ini dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dipahami dan ditangkap oleh informan ketika mengisi DCT tersebut. DCT ini kemudian dibagikan kepada 40 orang informan untuk mendapatkan pengisian. Informan ditentukan secara purposif berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria ini dimaksudkan agar data yang dikemukakan informan dalam DCT bisa dipertanggungjawabkan.
Hasil dari penelitian ini adalah penggunaan strategi kesantunan respon negatif atas kritik dalam masyarakat budaya Jawa cenderung hanya ditentukan oleh satu parameter, yaitu (±P). Apabila sebuah konteks itu mengandung parameter (+P), maka penggunaan strategi tidak langsung itu menjadi sangat tinggi. Hal ini dapat disimak pada konteks nomor 1 (+DC +P+D), nomor 2 (+DC +P-D), nomor 4 (+DC-P-D), dan nomor 6 (-DC+P-D). Dalam konteks-konteks tersebut penggunaan strategi langsung begitu rendah. Hal ini memberikan pemahaman bahwa parameter (+P) menjadi kendala bagi masyarakat budaya Jawa untuk mengekspresikan respon negatifnya dengan strategi langsung. Pemahaman ini dapat memberikan implikasi bahwa penggunaan strategi langsung dalam konteks-konteks yang mengandung (+P) dipandang kurang santun dalam masyarakat budaya Jawa.
Sebaliknya, apabila sebuah konteks itu mengandung (-P), maka penggunaan strategi respon negatif itu bergantung pada strategi kritik yang digunakan. Apabila pelaku kritik menggunakan strategi langsung (+DC) dalam mengekspresikan kritiknya, maka penerima kritik juga cenderung menggunakan strategi langsung dalam mengekspresikan respon negatifnya. Jadi, strategi kritik langsung direspon dengan strategi langsung juga. Hal ini dapat diamati pada konteks nomor 3 (+DC-P+D) dan nomor 4 (+DC-P-D). Sebaliknya, apabila pelaku kritik menggunakan strategi tidak langsung (-DC) dalam mengekspresikan kritiknya, maka penerima kritik juga cenderung menggunakan strategi tidak langsung dalam mengekspresikan respon negatifnya. Hal ini dapat diamati pada konteks nomor 7 (-DC-P+D) dan nomor 8 (-DC-P-D). Fakta ini memberikan pemahaman bahwa dalam masyarakat budaya Jawa penerima kritik dinilai wajar dan tidak melanggar norma kesantunan memberikan respon negatif dengan strategi langsung atas kritik yang juga diekspresikan dengan strategi langsung dengan catatan power penerima dan pelaku kritik kurang lebih seimbang (-P). Akan tetapi, penerima kritik dinilai tidak pantas dan melanggar norma kesantunan memberikan respon negatif dengan strategi langsung atas kritik yang diekspresikan dengan strategi tidak langsung.
Penggunaan strategi kesantunan respon negatif atas kritik dalam masyarakat budaya Jawa tampaknya sangat dipengaruhi oleh parameter (±P). Apabila respon negatif itu diekspresikan dalam konteks yang mengandung parameter (+P), penggunaan strategi respon langsung sangat rendah. Sebaliknya, apabila respon negatif itu diekspresikan dalam konteks yang mengandung (-P), penggunaan strategi respon cenderung dipengaruhi oleh penggunaan strategi kritik (±DC). Apabila pelaku kritik menggunakan strategi (+DC), penerima kritik juga cenderung menggunakan strategi langsung. Apabila pelaku kritik menggunakan strategi (-DC), penerima kritik juga cenderung menggunakan strategi tidak langsung.
Penulis: Edy Jauhari, Dwi Purnanto
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
http://ilkogretim-online.org/fulltext/218-1613671154.pdf?1613779805
Source: Ilkogretim Online – Elementary Education Online, Year; Vol 20 (Issue 5): pp. 1137-1146
doi: 10.17051/ilkonline.2021.05.124