Tanggapi The Rise of China, Pakar Hubungan Internasional Berikan Tiga Pandangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Sky News

UNAIR NEWS – Tidak dapat dipungkiri, China kini berpotensi menjadi negara adikuasa yang mampu menggantikan Amerika Serikat. Menyikapi hal tersebut, Agastya Wardhana, S. Hub. Int., M. Hub. Int., selaku Dosen Luar Biasa Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga mengulasnya menjadi tiga pandangan. Yaitu kapabilitas, intensi, dan respon Indonesia. Ulasannya disampaikan dalam webinar yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga (BEM UNAIR) melalui Kementerian Hubungan Luar, bertajuk The Rise of China: The Geopolitical of China’s Expansion and Opportunities Indonesia-China Bilateral Relations pada Sabtu (12/06/2021).

Kapabilitas

Kapabilitas merupakan suatu hal yang penting guna mengukur kekuatan sebuah negara. Salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur kapabilitas yakni melalui data ekonomi. 

Pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang utama dalam menyumbang kekuatan negara. Semakin kuat ekonomi yang dimiliki, maka semakin banyak pula yang dapat dilakukan negara tersebut sehingga menjadi semakin besar. 

Dapat dikatakan, bahwa China tergolong memiliki ekonomi yang kuat. Terbukti pada masa pandemi Covid-19, China mengalami kenaikan 3% di saat pertumbuhan ekonomi dunia minus 4%. 

“Ini menunjukkan betapa kuatnya ekonomi China. China kuat dalam mengorganisasi ekonominya, sehingga dihadapi krisis pun dia bangkit kembali,” tutur Agastya. Oleh karena itu, International Monetary Fund (IMF) memprediksi, bahwa ekonomi China dapat melampaui Amerika Serikat pada tahun 2026 atau 2028. 

Selain dari sisi ekonomi, terdapat pula data-data lain secara kuantitatif yang menunjukkan betapa hebatnya China dari sisi kapabilitas. Beberapa yang lainnya yakni China merupakan negara dengan populasi penduduk paling besar, China adalah negara penerima terbesar dan pengirim terbesar ketiga di dunia dari sisi investasi untuk tahun 2020, dan sebagainya. “Daftar kapabilitas kuantitatif China masih sangat panjang,” ujar Agastya.

Melihat kapabilitas yang dimiliki, Agastya berujar bahwa China seperti tidak memiliki lawan, dari banyak konteks. Hal itu rasanya menjadi potensi China ketika ingin menjadi hegemoni kepada negara-negara lain apabila ia (China, Red) mau.  

Intensi

Mengutip dari China National Defense Paper 2019, bahwa China tidak memiliki kemauan untuk menjadi hegemoni dan mengancam negara lain untuk membesarkan ruang lingkup pengaruhnya. “Jadi dari sini sebenarnya kita tahu bahwa China sebenarnya nggak mau jadi hegemoni, tidak mau mengancam negara lain,” imbuh Agastya.

Diketahui pula dari pidato presiden China, Xi Jinping, bahwa pihaknya ingin berkontribusi untuk membangun perdamaian dunia. Pidato tersebut, disampaikan pada tahun 2020 dalam momentum G20 atau pertemuan 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. 

Kemudian yang paling baru, yakni pidato Xin Jinping pada World Economic Forum tahun 2021. China, mengajak semua negara untuk menyelamatkan umat manusia dari krisis yang sedang kita hadapi dan mengatasi berbagai permasalahan yang ada.

“Ini narasi yang agak susah kita pahami, tapi ya sudah, ingat intensi itu apa yang mereka inginkan. Menurut Xi Jinping, bahwa memang China ingin berkontribusi dalam pembangunan dunia, meningkatkan global peace, dan segala macam. Terlepas dari kritik dan sarannya, tapi ini yang diinginkan,” jelas Agastya.

China memang sangat membantu negara-negara lain dari sisi ekonomi, termasuk Indonesia. Namun menurut Agastya, bahwa Indonesia harus berhati-hati dalam menyikapi hal itu.

Respon Indonesia

Agastya memaparkan, bahwa Indonesia boleh saja menjalin kerja sama dengan China asalkan ada akuntabilitas dan transparansi. “Nah ini pelajaran yang harus diambil oleh Indonesia, bahwa boleh kita berhubungan dengan China tapi kita harus hati-hati, kita harus transparan, kita harus akuntabel karena pelajaran di Bangladesh, di Sri Lanka, dan Kamboja, kalau tidak transparan jadinya ya subversif,” tutur Agastya.

Selain itu, berdasarkan kebijakan luar negeri yang dikemukakan oleh Bung Hatta pada 1953, bahwa Indonesia menganut bebas, aktif. Dalam konteks bebas, berarti Indonesia boleh memilih pihak-pihak untuk kerja sama namun tidak boleh bergantung sangat kuat terhadap satu atau dua pihak tersebut. Indonesia harus bisa melihat prioritas, yakni mendatangkan manfaat sesuai kebutuhan negara.

“Hubungan Indonesia-China hari ini, harus berdasarkan kebutuhan dalam negeri, mutlak sifatnya memenuhi kebutuhan dalam negeri kita. Karena apa gunanya kemudian kebijakan luar negeri kita kalau  itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia,” pungkas dosen yang juga direktur pengelola Cakra Study Global Strategis (CSGS) tersebut. 

Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp