Ekonom UNAIR Sebut Pajak Sembako Bisa Perlebar Disparitas Kemiskinan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
ILUSTRASI sembako. (Foto: tirto.id)
ILUSTRASI sembako. (Foto: tirto.id)

UNAIR NEWS – Baru-baru ini publik tengah ramai dengan adanya isu pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok atau sembako. Apabila rencana itu disahkan, bahan-bahan pokok seperti halnya beras, telur, daging, sayur-sayuran, dan semacamnya akan dikenai pajak dalam pembeliannya.

Merespons hal itu, Dr. Wasiaturrahma, S.E., M.Si., menilai pemerintah perlu menelaah secara matang sebelum memutuskan kebijakan tersebut. Meski Indonesia tengah mengalami perlambatan ekonomi di masa pandemi dan tax ratio mencapai 8 persen  terhadap PDB, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) itu menekankan bahwa pengenaan PPN pada sembako sangat berhubungan dan bisa berdampak pada perut rakyat kecil. Pihaknya juga menyebut kita perlu belajar dari prinsip beberapa negara maju yang menerangkan bahwa makanan, kesehatan, dan pendidikan tidak boleh dikenakan PPN karena menyangkut kebutuhan primer dalam kehidupan.

“Itu negara maju loh, apalagi kita negara berkembang yang income per-kapitanya sudah sangat merosot akibat pandemi. Sekarang ini, semua mengalami penurunan daya beli oleh masyarakat. Jadi, kebijakan itu harus dipertimbangkan dengan baik,” terang dosen yang kerap disapa Rahma itu.

EKONOM dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Dr. Wasiaturrahma, S.E., M.Si. (Foto: Istimewa)
EKONOM dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Dr. Wasiaturrahma, S.E., M.Si. (Foto: Istimewa)

Dampak bagi Masyarakat  

Dalam pandangannya, pengenaan PPN pada sembako akan menyulitkan masyarakat bawah yang berpenghasilan tidak tetap atau tetap, tapi rendah. Menurutnya, daya beli masyarakat saat ini sudah rendah, apabila PPN pada sembako diterapkan, maka daya beli masyarakat bawah akan semakin anjlok.

“Silakan berlakukan kebijakan ini bagi kalangan atas, tapi tidak untuk kalangan masyarakat bawah karena bisa semakin memperlebar disparitas kemiskinan di Indonesia. Kita perlu merujuk kembali pada UUD 1945 pasal 33 yang menerangkan bahwa semua kebijakan itu tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat,” tekannya.

Lebih lanjut, dosen kelahiran Sumenep tersebut menyebut ada barang-barang lain yang seharusnya lebih pas dikenakan PPN dibandingkan sembako.

“Barang mewah, seperti barang-barang impor dari luar negeri itu wajib hukumnya dikenakan PPN cukup tinggi. Hal itu selaras juga untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan kita,” terangnya.

Pentingnya Manajemen Komunikasi 

Dosen kelahiran 19 April itu menerangkan bahwa kebijakan PPN pada sembako juga perlu memperhatikan pentingnya manajemen komunikasi pada ruang publik. Menurutnya, pemerintah harus menyosialisasikan dulu kebijakan-kebijakan yang akan diambil dengan pemaparan alasan yang jelas sehingga tidak membingungkan masyarakat. Selanjutnya, Rahma menyebut harus ada yang menjadi perpanjangan informasi pemerintah supaya tidak salah interpretasi.

“Sebutkan apa untung dan ruginya agar masyarakat tahu dan bisa menerima dengan lapang bila kebijakan itu diterapkan,” pungkasnya. (*) 

Penulis: Nikmatus Sholikhah

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp