UNAIR NEWS – Belum lama ini, media sosial dihebohkan dengan sinetron Suara Hati Istri. Dimana, sinetron ini banyak menuai kontroversi di masyarakat tentang nikah muda yang seolah menjadi pembenaran untuk menikah dengan anak di bawah umur.
Dr. Pinky E. C., Dra., M.A., selaku Dosen UNAIR sekaligus Ketua Umum Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS) Jawa Timur mengungkapkan, media di Indonesia cenderung mengutamakan tontonan, namun kurang tuntunan. “Padahal kita tahu, di luar negeri sekalipun setiap kali ada tontonan selalu ada semacam pemberitahuan terkait pesan edukasi yang ingin disampaikan,” tuturnya.
Menurutnya, sinetron Indonesia juga minim akan kontrol, termasuk dari segi regulasinya. “Jadi betul-betul bebas, kebebasan yang tanpa batas, dimana memaknai kapitalisme di dalam informasi komunikasi itu sedemikian rupa seolah-olah tanpa batasan, tanpa panduan, sehingga yang paling dirugikan adalah konsumen. Sudah waktunya pendidikan karakter itu menjadi hal yang utama, dan media harus dikontrol sedemikan rupa agar tidak menjadi penyebar dari perilaku-perilaku yang tidak beretika,” terang Dr. Pinky.
Kontroversi Tersirat Ajakan Menikah Muda dalam Sinetron
Selain itu, masyarakat juga banyak mempersoalkan terkait usia Zahra di dunia nyata yakni masih 14 tahun namun sudah berperan sebagai seorang istri. Padahal, undang-undang di Indonesia sudah mengatur mengenai batas minimal usia pernikahan.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, telah disebutkan bahwa batas minimal usia menikah yakni 19 tahun. Hal itu merupakan hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memperbolehkan menikah sejak usia 16 tahun.
Dr. Pinky mengungkapkan, bahwa adanya revisi undang-undang perkawinan telah menempuh jalan yang panjang. Sebagian pihak yang kontra, mengemukakan dengan alasan menghindari perzinahan. Seperti yang terdapat dalam tayangan sinetron (Suara Hati Istri: Zahra, Red), bahwa pernikahan anak dirasa merupakan takdir yang harus dijalani.
“Menentang adanya alasan pernikahan usia muda sebagai sebuah takdir merupakan sebuah kekeliruan. Takdir itu kalau sesuatu sudah terjadi,” ungkapnya.
Pencegahan Menikah Muda
Sementara itu dalam pelaksanaan pernikahan usia muda, terdapat banyak hal yang bisa mencegahnya. Pernikahan di bawah 19 tahun, harus mendapat dispensasi dari hakim dan pihak-pihak terkait. Dr. Pinky juga mengatakan, bahwa ketika hakim dan pihak terkait tidak menyetujui hal itu (menikah di usia muda, Red), maka pernikahan juga tidak akan terjadi sehingga bukan merupakan takdir mutlak.
Pernikahan usia muda memang harus dicegah karena banyak menimbulkan ketidakbermanfaatan. “Akan bisa dilihat misalnya kabupaten yang tingkat perkawinan mudanya tinggi, maka di sana akan tinggi gizi buruk, akan tinggi putus sekolah, akan tinggi kasus-kasus perceraian, akan tinggi juga kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), belum kita ngomongin dampaknya terhadap anak yang dikandung dan dilahirkan, yang stunting, yang gizi buruk, seperti yang terjadi di beberapa kabupaten di Indonesia. Jadi, kalau melihat seperti itu, masihkah kita mengatakan takdir dan tidak bisa mencegah?,” jelas Dr. Pinky.
Terkait pasangan yang terlanjur menikah muda, juga tidak serta-merta diabaikan. Mereka merupakan orang yang memahami langsung problematika pernikahan dini sehingga dapat turut mengampanyekan ‘Stop Perkawinan Anak’.
“Lalu kalau masih punya kesempatan, yang bersangkutan bisa ikut kejar paket agar kualitas mereka juga meningkat meskipun tidak dengan sekolah formal,” imbuh Dr. Pinky.
Terakhir, Dr. Pinky juga berpesan agar masyarakat tidak perlu terlalu bergantung kepada sinetron yang tidak baik. Menurutnya, problematika dalam kehidupan nyata lebih besar daripada sekedar sinetron. “Sehingga di satu sisi kita prihatin dengan sinetron, tapi di satu sisi abaikan saja,” pungkas Dosen Program Studi Antropologi Universitas Airlangga (UNAIR) tersebut.
Penulis: Fauzia Gadis Widyanti
Editor: Khefti Al Mawalia