UNAIR NEWS – Abortus atau dalam istilah umum di masyarakat dikenal dengan istilah keguguran merupakan suatu kondisi ketidakmampuan fetus (anak sapi) untuk bertahan hidup sebelum waktunya dilahirkan, namun proses pembentukan organ pada fetus tersebut telah berlangsung. Berbagai penyebab termasuk agen infeksius menjadi faktor utama dalam kejadian abortus pada sapi.
Karena minimnya sosialisasi kepada peternak dan masyarakat umum tentang abortus pada sapi, Divisi Swine and Ruminant Care (SRC) Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HMKH) UNAIR di Banyuwangi mengadakan Webinar Nasional dengan mengangkat tema “Mengenal Abortus , Stillbirth dan Fetal Malformation pada Ternak dan Penyebabnya”.
Kegiatan Webinar Nasional tersebut juga berkolaborasi dengan pengurus Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Jawa Timur IV, Banyuwangi.
Drh. H. Agung Budiyanto, MP., Ph.D selaku pemateri menyampaikan bahwa proses yang panjang dan tidak mudah dari Inseminasi Buatan (IB) sampai dengan kelahiran, adalah momen penting bagi peternak. Sedikit saja kekeliruan, sambungnya, akan berdampak pada proses kebuntingan sapi.
“sebagian besar, kasus abortus kurang diperhatikan oleh peternak dan petugas. Cenderung dilakukan pembiaran secara alami,” ujar drh. Agung (Sabtu, 12/06/2021).
Lebih lanjut, Komisi Ahli Dirjen PKH Kementerian Pertanian tersebut menegaskan, Sia-sia kalau ada abortus, harus ada manajemen induk dan pedet yang dilakukan sejak kebuntingan sampai kelahiran.
Abortus pada sapi dapat disebabkan oleh agen infeksius dan non infeksius. Contoh agen non infeksius yaitu genetik, nutrisi, trauma, fetus kembar, proses IB dan sebagainya.
“Sedangkan penyebab infeksisus yang berasal dari virus diantaranya yaitu Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Rhinotracheitis Infectiousa Bovis, Infectious Bovine Necrotic Rhinotracheitis, Necrotic Rhinitis, Red Nose Disease, Bovine Coital Exanthema,” papar drh. Agung.
Selain itu, sambungnya, virus jembarana pada sapi Bali juga menjadi agen lainnya. Ternak yang bunting ditandai dengan keguguran. Dilaporkan 49% ternak bunting yang terserang penyakit Jembrana diakhiri dengan keguguran yang terjadi pada semua masa kebuntingan.
“Agen infeksius utama penyebab abortus pada sapi yang sering dilaporkan adalah Brucella abortus, yang menyebabkan kematian (kluron), gangguan reproduksi berupa kemajiran temporer dan permanen pedet lemah lahir, retensi placenta,” jelasnya.
Lebih lanjut, drh. Agung menjelaskan penularan abortus dapat melalui fetus yang diaborsikan, plasenta dan cairan plasenta mengandung bakteri maupun virus penyebab abortus dalam jumlah yang tinggi. Agen tersebut, tandasnya, dapat mengkontaminasi lingkungan dan memiliki resiko yang tinggi untuk menularkan ke hewan maupun manusia.
“Penularan dapat melalui membran mukosa tubuh, saluran pencernaan dan pernafasan, dan juga saluran reproduksi. Indukan yang pernah mengalami abortus akibat penyakit infeksi reproduksi, dapat menjadi carier dan menjadi sumber penularan,” ujar drh. Agung.
Apa yang harus dilakukan kalau ada abortus? Drh. Agung menyampaikan bahwa peternak atau petugas perlu segera memisahkan induk yang abortus dengan sapi lain dalam kelompok, petugas mengambil fetus dan disimpan untuk pengambilan sampel segera, semua bekas abortus dibersihkan, desinfektan kandang dan peralatan serta sapi yang sehat perlu diberikan nutrisi dan vitamin yang cukup.
Saat ini, lanjutnya, dalam program pencegahan abortus, pemerintah telah berupaya untuk melakukan vaksinasi secara rutin kepada sapi-sapi di seluruh Indonesia. Pencegahan juga dapat melalui surveilans penyakit dan melakukan evaluasi bibit pejantan.
“Edukasi peternak tentang penyakit gangguan reproduksi, pakan, nutrisi pada masa kebuntingan, recording kejadian abortus serta investigasi penyebab abortus merupakan tanggungjawab kita bersama,” pungkasnya. (*)
Penulis : Muhammad Suryadiningrat
Editor : Nuri Hermawan