Wisata Medis Berkelanjutan: Menyelidiki Perjalanan Perawatan Kesehatan di Indonesia dan Malaysia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by Katadata

Ada pepatah lama yang menyatakan: “Travel is the best medicine”, yang sangat pas mengingat kemajuan industri medis dan peluang bepergian ke berbagai negara untuk mendapatkan perawatan medis (Majeed et al., 2017). Asia adalah salah satu pesaing di pasar pariwisata medis global dalam perawatan yang terjangkau dan berkualitas tinggi (Ganguli and Ebrahim, 2017). Diperkirakan kawasan Asia menerima lebih dari 1,3 juta turis medis setiap tahun (Asrianti, 2011). Pasien sebagai pelanggan pelayanan kesehatan merupakan pengendali kinerja kesehatan yang dihasilkan oleh suatu pelayanan kesehatan, karena pasien juga membawa keluarga dan teman-temannya ke pelayanan kesehatan. Pasien yang tidak dapat memperoleh akses cepat ke layanan karena polis asuransi yang terbatas, waktu tunggu yang lama, dan pilihan pengobatan yang tidak tersedia didorong untuk bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan pengobatan yang diinginkan.

Banyaknya dokter spesialis dari Indonesia yang telah menjadi ahli medis di rumah sakit di luar negeri, dan berbagai keindahan alam di Indonesia akan mampu memposisikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang berpeluang meraih pasar yang besar. Namun sejauh ini Malaysia lebih berhasil daripada Indonesia (Saragih and Jonathan, 2019). Oleh karena itu, penting dilakukan penelitian ini untuk membandingkan model pengembangan layanan medis berbasis wisata medis, sehingga rumah sakit dan instansi terkait di Indonesia dapat lebih berhasil berkembang dan menjadi sasaran warga dalam dan luar negeri dalam memeriksakan kesehatannya; dan bagi pemerintah yang harus melakukan upaya untuk mengurangi kecenderungan warga negara Indonesia untuk mencari pengobatan di luar negeri.

Wisata Medis di Malaysia dan di Indonesia

Wisata medis atau wisata medis internasional secara umum didefinisikan sebagai perjalanan pasien mencari layanan kesehatan di luar area perawatan kesehatan lokal utama (Gupte and Panjamapirom, 2014). Pemerintah Malaysia mulai mempromosikan pariwisata medis sejak tahun 1998 di tengah Krisis Keuangan Asia untuk diversifikasi sektor kesehatan dan pariwisata (Moghavvemi et al., 2016). Sejak saat itu, pelaku sektor publik dan swasta tidak hanya berusaha untuk menarik negara tetangganya yaitu Indonesia yang memiliki karakteristik berkelanjutan, volume tinggi tetapi pengeluaran per pasien rendah, tetapi juga wisatawan medis yang bersedia mentolerir biaya yang lebih tinggi (Ormond et al., 2014). Sedangkan menurut Ormond and Sulianti, (2017) yang meneliti perjalanan wisatawan Indonesia ke Borneo Malaysia, ditemukan bahwa transisi epidemiologi Indonesia berarti penyakit gaya hidup yang lebih maju tidak ditangani dan dikelola dengan baik.

Di luar ibu kota negara, Jakarta, dokter spesialis, teknisi, peralatan dan fasilitas yang memadai masih jarang ditemukan. Mengingat kelangkaan pelayanan kesehatan yang berkualitas di banyak daerah di Indonesia (Aspinal, 2014), kelas menengah yang tumbuh, munculnya transportasi lintas batas yang lebih terjangkau dan kemudahan politik yang lebih besar dalam melintasi perbatasan, setidaknya satu juta orang Indonesia diperkirakan bepergian ke luar negeri untuk setiap tahun perawatan (Ormond and Sulianti, 2017). Sebagian karena devaluasi mata uang selama Krisis Keuangan Asia 1998, semakin banyak orang Indonesia berpenghasilan rendah dan menengah mulai memasuki Malaysia untuk perawatan medis, karena dapat diakses secara bahasa dan geografis, menjadi lebih terjangkau (Asrianti, 2011). Menyadari awal dari tren ini dan kebutuhan untuk mengisi tempat tidur kosong pasien lokal yang kembali ke sistem perawatan kesehatan masyarakat selama krisis, beberapa rumah sakit swasta Malaysia mulai mempromosikan diri mereka kepada orang Indonesia.

Karakteristik responden penelitian ini adalah pasien yang berasal dari Indonesia ataupun Malaysia yang pernah melakukan wisata medis. Pada tahap awal peneliti melakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi persepsi responden mengenai alasan mereka berobat ke luar negeri dengan responden terdiri dari 200 pasien. Kemudian peneliti juga melakukan sesi wawancara dengan melibatkan sebelas informan baik dari pihak penyedia medis (dokter umum, dokter spesialis, perawat, Pengurus Ikatan Dokter Indonesia, Dinas Kesehatan dan pasien). yang pernah melakukan pemeriksaan kesehatan di luar negeri). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi pasien yang menggunakan pelayanan kesehatan pada pelayanan medis berbasis wisata medis di Indonesia dan di Malaysia adalah kepercayaan, interaksi komunikasi, pelayanan prima, biaya pengobatan terjangkau, teknologi medis modern, pelayanan holistik, harapan pasien yang meningkat, jarak pendek, dan objek Wisata Menarik. Solusi untuk mengatasi kendala pelaksanaan layanan wisata medis antara lain: perlunya rumah sakit yang ‘berstandar internasional’, meningkatkan pelayanan prima dan komunikasi yang baik, menyerahkan kendali mutu pelayanan medis kepada lembaga independen, interpretasi mutu pelayanan dari sudut pandang dokter, pasien dan pemilik rumah sakit, bekerja sama dengan agen perjalanan dan agen pariwisata, serta peraturan pemerintah tentang masuknya Tenaga Kesehatan Asing. Dengan demikian Indonesia yang menerima banyak wisatawan mampu berpartisipasi secara kompetitif.

Penulis: Dr. Ririn Tri Ratnasari, SE., M.Si.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

Ratnasari, R.T., Gunawan, S., Pitchay, A.A. and Salleh, M.C M. (2021). Sustainable medical tourism: Investigating health-care travel in Indonesia and Malaysia. International Journal of Healthcare Management. https://doi.org/10.1080/20479700.2020.1870365

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp