Fenomena Pandemi COVID19 dan Eksistensi Deep Learning

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Forum Zakat

Kesehatan masyarakat menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dewasa ini. Hal ini terkait dengan munculnya wabah corona virus disease pada akhir tahun 2019 yang berasal dari Wuhan China. Telah banyak yang menjadi korban jiwa dalam kurun waktu yang singkat tersebut. Tenaga medis yang menangani menjadi perhatian karena jumlahnya sangat terbatas dan riskan terinfeksi oleh virus. Pengaruh virus ini dapat diamati melalui spot putih pada bagian paru.

Penyakit COVID19 ini menyerang paru bawah sehingga untuk dapat melihat efek virus ini adalah dengan mengamati hasil rontgen X-Ray. Apabila hasil ini pengamatan dirasa kurang memadai dapat digunakan analisa tambahan dengan mengacu pada hasil Computer Tomography (CT-Scan).

Di sisi lain perkembangan teknologi menggunakan teknologi image processing dan deep learning mulai banyak dikembangkan untuk membantu tenaga medis menangani pasien di lapangan. Bagaimana hal ini dapat membantu? Hal ini dikarenakan sistem deep learning dapat mempelajari sendiri model paru dengan kerusakan akibat COVID19.

Efektifitas penggunaan teknologi deep learning

Pada tahap awal proses penggunaan image processing masih di lakukan dengan tahapan manual yaitu  pre-processing dengan mempersiapkan image X-Ray dan CT-Scan, mendapatkan region of interest (ROI) yang diinginkan dan membandingkannya dengan ground truth pakar di bidang medis. Mendapatkan batas objek, mengekstraksi fitur dan mencari atau mendapatkan fitur object. Tahap terakhir dilakukam klasifikasi sehingga tahapan proses yang dilakukan cukup panjang.

Foto X-Ray Paru sendiri memiliki jumlah yang terbatas. Hal ini karena foto ini mewakili satu identitas manusia. Terdapat kriteria inklusi diantaranya adalah pasien mengalami gejala penyakit COVID19 yaitu penciuman tidak berfungsi, tidak bisa merasakan bau. Hal ini membuat dataset sulit untuk didapatkan. Selain itu untuk mendapatkan data langsung tentu saja perlu untuk berdekatan langsung dengan pasien dan hal ini menjadi sangat berisiko. Salah satu solusi yang digunakan adalah penyedia dataset sekunder yang akan mengupdate data mereka di internet.

Perkembangan dari machine learning selanjutnya adalah penggunaan deep learning yang salah satu algoritmanya adalah Convolutional Neural Network (CNN). Dengan menggunakan teknologi terbaru ini, maka sistem mempelajari object dataset yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Semakin banyak jumlah data yang dipelajari oleh sistem maka semakin banyak khasanah pengetahuan yang dimiliki untuk menyusun model.

Metode yang diusulkan adalah penggunaan Convolutional neural network dengan penambahan Augmentasi data. CNN yang diusulkan merupakan CNN yang dirancang sendiri dengan tujuan untuk menghemat waktu komputasi proses training.

Convolutional neural network bekerja menggunakan 2 buah blok utama yaitu feature maps dan klasifikasi. Dalam blok feature maps terdapat layer konvolusi untuk mengalikan sinyal input dan kernel filter yang digunakan untuk memetakan image input, layer batch normalisasi bertugas mempercepat fase pelatihan neural network, Rectified Linear Unit mengatasi deminising gradient dan lapisan pooling yang mereduksi ukuran spasial yang digunakan. Sementara pada Classification layer terdapat dense layer untuk menambahkan fully connected, sementara flatten layer berfungsi untuk membentuk ulang (reshape) hasil feature map.

Keterbatasan jumlah variasi dalam dataset diantisipasi dengan penggunaan data augmentasi dengan melakukan scaling, rotating dan shear atau relection. Skenario Ujicoba dilakukan menggunakan dataset X-Ray dan CTScan dari kaggle.com. Adapun kelas X-Ray meliputi Kondisi Normal 234 files, Kondisi Paru terinfeksi bakteri 242 files, Kondisi Paru terinfeksi virus 148 files dan Kondisi Paru terinfeksi COVID-19 43 files. System dibangun menggunakan perangkat software Matlab 2019a dan hardware Intel core i-7, 8GB RAM, with 4GB NVIDIA GTX1050 GPU

Langkah awal pada pengujian sistem adalah menguji menggunakan dataset non-X-Ray yaitu Bird, Animal, Flower dan Food101 dengan hasil akurasi rata rata 34layer adalah  99.25%, sementara pada penggunaan 26-layer akurasi rata rata yang dihasilkan adalah 97.86%. Proses training membutuhkan waktu 1 menit dan 15 detik. Hasil Error rata rata MSE 34-layer adalah 0.0237, RMSE 0.1441 and MAE 0.0120. Hal ini menunjukkan sistem bekerja lebih baik 50% daripada than penggunaan 26-layer yang menunjukkan MAE rata rata 0.00351.

Langkah kedua pada pengujian menggunakan data X-Ray didapatkan nilai rata rata akurasi pada 34-layer adalah 97.55% dengan waktu komputasi 1 menit 43 detik, MSE 0.0838, RMSE 0,2521 dan MAE 0.0506 . Pada penggunaaan CT Scan data, hanya terdapat dua output classes, yaitu COVID and non-COVID. Hasil CT Scan training memiliki average accuracy pada 98.58%, dengan waktu training membutuhkan waktu 1 menit, 9 detik, MSE 0.0082, RMSE 0.1514 dan MAE 0.0298. Kedua hasil langkah pengujian menunjukkan bahwa penggunaan deep learning CNN untuk membantu tenaga medis dalam menganalisa kondisi medis pasien COVID19 dapat diwujudkan dengan bantuan perangkat komputer.

Penulis: Budi Dwi Satoto

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://aip.scitation.org/doi/10.1063/5.0045329

Budi Dwi Satoto, Mohammad Imam Utoyo, and Riries Rulaningtyas , “Prediction of pneumonia COVID19 using a custom convolutional neural network with data augmentation” , AIP Conference Proceedings 2329, 050017 (2021)

https://doi.org/10.1063/5.0045329

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp