Dampak Ko-infeksi Bakteri pada Pasien COVID-19 Derajat Sedang, Berat, dan Kritis di Rumah Sakit Rujukan COVID di Surabaya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by Humas Unair

Data mengenai infeksi sekunder pada pasien COVID-19 di Indonesia masih sedikit dipublikasikan. Infeksi sekunder dapat meningkatkan angka perawatan di ICU. Infeksi sekunder dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur. Manifestasi yang paling sering ialah infeksi pada saluran pernapasan atas, yang mana akan sulit dibedakan dengan pneumonia akibat COVID-19 itu sendiri. Ko-infeksi pada COVID-19 dapat didahului oleh infeksi bakteri terlebih dahulu, yang diikuti oleh infeksi SARS-CoV-2, infeksi campuran oleh virus dan bakteria, dan superinfeksi bakteri setelah infeksi SARS-CoV-2. Hal ini bergantung pada onset dan interaksi yang kompleks antara virus, pejamu, dan bakteri. Luaran yang lebih buruk pada pasien COVID-19 dengan ko-infeksi disebabkan karena respon imun yang berbeda dibandingkan dengan pneumonia COVID-19 yang berdiri sendiri. Studi ini bertujuan untuk menggambarkan koinfeksi bakteri dan penggunaan antibiotik pada pasien yang terinfeksi SARS-Cov-2 dari derajat sedang hingga kritis.

Data penelitian ini diambil dari rekam medis pasien pada 14 Maret hingga 30 September 2020. Pasien yang didata ialah yang dirawat di ruang intensif dan terkonfirmasi COVID-19. Karakteristik dan derajat penyakit dievaluasi dari klinis pasien. Infeksi sedang ditandai dengan tanda pneumonia, saturasi > 93%. Kasus berat ditunjukkan dengan RR>30 kali/menit, distress nafas berat, saturasi oksigen <93% udara ruang, sementara kondisi kritis digambarkan dengan ARDS dan syok sepsis.  Infeksi bakteri dilihat dari penilaian klinis, parameter laboratorium, dan parameter inflamasi. Ko-infeksi bakteri didefinisikan apabila hasil kultur positif didapatkan kurang dari 48 jam setelah masuk rumah sakit, sementara infeksi bakteri sekunder ditegakkan dengan penemuan hasil kultur setelah 48 jam pasca masuk rumah sakit. Kultur didapatkan dari darah, urin, dan saluran pernapasan.

Jumlah pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini sejumlah 218 pasien. Median usia pasien ialah 52,45 tahun dengan lebih dari separuhnya laki-laki. Kasus infeksi COVID-19 derajat sedang paling banyak dalam penelitian ini. Komorbid paling sering yaitu diabetes mellitus dan hipertensi. Beberapa pasien dengan kondisi kritis jatuh pada gagal nafas, membutuhkan ventilator, dan sepsis. Infeksi bakteri didapatkan pada 43 pasien dan 16 di antaranya berada pada kondisi kritis. Gejala yang paling banyak dialami pasien ialah sesak nafas, demam, batuk, dan badan lemah. Leukosit, neutrophil, prokalsitonin, BUN, dan SGPT lebih tinggi pada pasien dengan kasus COVID-19 berat dan kondisi kritis. Peningkatan prokalsitonin pada pada pasien COVID-19 derajat berat dan kondisi kritis berhubungan dengan pelepasan sitokin seperti IL-6. Pasien COVID-19 yang mengalami infeksi bakteri menjalani masa rawat inap yang lebih panjang, meningkatkan kebutuhan perawatan ICU dan penggunaan ventilator, serta memiliki prognosis yang lebih buruk.

Antibiotik empiris diberikan kepada 75,2% pasien. Antibiotik yang paling umum diberikan ialah golongan quinolone, sefalosporin, carbapenem, dan aminoglikosida. Berdasarkan pedoman tatalaksana COVID-19 Indonesia, antibiotik yang dapat diberikan ialah Azitromisin atau Levofloksasin. Bakteri Gram negatif paling banyak ditemukan pada sampel. Bakteri gram negatif memiliki kemampuan meningkatkan gene yang mengkode resistensi antibiotic terutama pada penggunaan antibiotik yang kurang baik. Bakteri yang didapatkan pada sampel darah ialah Klebisella pneumoniae yang memproduksi beta lactamase spektrum luas, Pseudomonas fluorescens, Pseudomons putida, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus haemolyticus, Staphylococcus hominis. Sementara bakteri yang didapatkan pada urin ialah E. coli, Entercoccus faecalis, dan Pseudomonas putida. Pada sputum didapatkan Acinetobacter baumannii, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, E. coli, Enterobacter cloacae complex, Staphylococcus haemolyticus, dan ditemukan pula jamur. Penemuan infeksi bakteri Gram negatif lebih dikorelasikan dengan komplikasi perawatan ICU dibandingkan dengan akibat tingginya predileksi pada pasien COVID-19.

Penelitian ini harus dikembangkan karena peninjauan masih hanya dilakukan pada pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU). Selanjutnya, kultur virus dan sekuens gen tidak dapat dilakukan di rumah sakit ini, sehingga kami hanya mengandalkan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan infeksi bakteri tidak dilakukan di semua pasien, sehingga didapatkan kemungkinan infeksi bakteri yang tidak terdeteksi pada pasien tanpa gejala atau imunokompromais.

Penulis: Tri Pudy Asmarawati

Link jurnal: The clinical impact of bacterial co-infection among moderate, severe, and critically ill COVID-19 patients in the second referral hospital in Surabaya

https://f1000research.com/articles/10-113

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp