Penatalaksanaan Pasien Severe COVID-19 dengan RT-PCR Negatif

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh CNN Indonesia

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO). Saat ini diagnosis menggunakan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan ‘gold standard’ untuk mendeteksi asam nukleat virus SARS-CoV-2. Belakangan ini dilaporkan banyak pasien yang memiliki kondisi klinis yang mengarah pada COVID-19 namun menunjukkan hasil tes RT-PCR negatif. Hasil tes negatif tersebut membingungkan para dokter karena diagnosis akhir bergantung pada hasil RT-PCR.

Hasil RT-PCR negatif tersebut dapat menyebabkan kegagalan karantina pasien COVID-19, meningkatkan risiko penularan dan kemungkinan kematian sehingga diperlukan kombinasi metode tambahan untuk diagnosis COVID-19 di saat pandemi ini. Kami melaporkan seorang pria 36 tahun yang pernah kontak dengan pasien terkonfirmasi COVID-19. Pasien tersebut masuk rumah sakit dengan kondisi klinis, radiologis, dan serologis mengarah pada COVID-19 namun hasil RT-PCR berulangkali menunjukkan hasil negatif sedangkan istrinya menunjukkan hasil positif namun tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami demam dan kelelahan selama 2 hari, batuk kering selama 3 hari dan mual. Pasien ini memiliki komorbid penyakit jantung. Saturasi oksigen pasien 97% dengan oksigenasi simple mask 6 lpm.

Pada hari pertama rawat inap, hasil RT-PCR pasien menunjukkan hasil negatif namun hasil rontgen dada menunjukkan multifocal rounded opacities pada paru kanan dan hasil CT scan dada menunjukkan konsolidasi perifer yang tidak merata dengan ground glass opacity (GGO) di kedua paru dan konsolidasi yang luas dengan bronkogram udara di lobus inferior dari paru kanan yang menunjukkan pneumonia. Berdasarkan hasil tersebut pasien didiagnosis suspek pneumonia COVID-19. Pasien dirawat di ruang isolasi dengan terapi suplementasi O2 6L/min dengan simple mask, makanan tinggi kalori dan tinggi protein 2100 kkal/24 jam, infus NaCl 0,9% 1500 mL/24 jam, multivitamin yang mengandung vitamin C, Vitamin D, Zinc, N-acetylcystein 600 mg setiap 12 jam peroral, dan parasetamol 500 mg peroral setiap 6 jam. Terapi untuk komorbiditas dilanjutkan dengan bisoprolol 2.5 mg setiap 24 jam, acetyl salicylic acid (ASA) 100 mg setiap 24 jam, dan atorvastatin 20 mg setiap 24 jam.

RT-PCR diulang pada hari ke-2, ke-5, dan ke-12, namun tetap menunjukkan hasil negatif. Hasil ini bertentangan dengan gejala dan temuan radiografinya yang menunjukkan karakteristik pneumonia. Rontgen dada pada hari ke-4 rawat inap menunjukkan penambahan infiltrate di paru kanan dan infiltrat baru di paru kiri. Terapi berikut adalah oseltamivir 2 × 75 mg selama 7 hari, methisoprinol 3 × 500 mg peroral selama 5 hari, injeksi deksametason 1 × 6 mg IV selama 6 hari, natrium enoxaparin 1 × 0,6 mL subkutan selama 8 hari. Pada hari ke-7 pasien dilakukan uji antibodi serologis untuk memastikan diagnosis. Hasil tes menunjukkan reaktif baik IgM dan IgG dan hasil serologis positif. Hasil ini menguatkan dugaan bahwa pasien terinfeksi COVID-19. Pada hari ke-30 hasil CT scan pasien menunjukkan multi focal GGO pada periferal kedua paru (tahap reabsorpsi pneumonia COVID-19). Pasien melanjutkan isolasi mandiri selama 14 hari.

CT scan dada pada pasien dengan RT-PCR negatif namun memiliki gejala yang mengarah pada COVID-19 sangat diperlukan. RT-PCR merupakan ‘gold standar’ untuk deteksi infeksi SARS-CoV-2, yang bergantung pada jumlah virus yang cukup untuk amplifikasi gen. Ketidakcocokan hasil RT-PCR dengan kondisi klinis pasien belakangan menjadi perhatian karena banyak studi melaporkan hal demikian. Sensitivitas uji RT-PCR tergantung pada viral load dengan tingkat puncak terjadi pada hari ke-4 berdasarkan penelitian virologi. Hasil tes ini bergantung pada pengambilan sampel yang berkaitan dengan onset gejala dan metode penggunaan swab nasofaring.

Metode RT-PCR sangat bergantung pada keberadaan genom virus dalam jumlah yang cukup pada nasofaring. Ketidaktepatan waktu pengambilan sampel dapat memberikan hasil yang negatif. Pengambilan sampel yang salah juga dapat mempengaruhi hasil uji RT-PCR. Berdasarkan kasus kami, hasil RT-PCR negatif kemungkinan diakibatkan karena kesalahan pengambilan sampel atau tingkat positif spesimen yang rendah. Sebuah studi melaporkan sensitivitas rendah RT-PCR hanya 39,5 % kasus atau setidaknya satu hasil RT-PCR positif dari total 610 pasien yang dikonfirmasi dengan diagnosis COVID-19 menggunakan kombinasi temuan klinis dan radiologis.

Dokter harus waspada dengan hasil RT-PCR negatif ini meskipun RT-PCR nasofaring adalah ‘gold standard’ untuk diagnosis COVID-19. Diagnosis COVID-19 harus dilakukan dengan menggunakan kombinasi RT-PCR, rontgen dada, CT scan dada, manifestasi klinis, tes antibodi, dan riwayat paparan virus terhadap pasien. Pertimbangan ini sangat diperlukan untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan merawat pasien secepat mungkin untuk mengurangi angka kematian dan risiko penularan.

Penulis: Dr. Soedarsono, dr., Sp.P(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di doi: 10.1016/j.radcr.2021.03.049.

Soedarsono S, Febriani A, Hasan H, Widyoningroem A. Management of severe COVID-19 patient with negative RT-PCR for SARS-CoV-2: Role of clinical, radiological, and serological diagnosis. Radiol Case Rep. 2021 Jun; 16(6): 1405-1409.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp