Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan komoditas perikanan yang menguntungkan antara lain pertumbuhan yang cepat, padat tebar tinggi dan harga jual yang tinggi. Produksi udang putih dunia pada tahun 2015 berada di atas 3,5 juta ton dengan penyumbang terbesar China 1,62 juta ton, India 416.000 ton, dan Indonesia 410.000 ton. Permintaan pasar yang semakin meningkat menyebabkan udang putih dibudidayakan secara intensif.
Namun, sejumlah kendala dalam budidaya dialami salah satunya adalah penyakit akibat bakteri, virus, dan algae beracun. Penyakit merupakan faktor pembatas dalam budidaya udang. Penyakit bisa disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit. Serangan vibriosis dapat menyebabkan kematian hingga 100% pada tahap larva atau juvenile. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penyakit nekrosis hepatopankreas akut atau AHPND yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus menyebabkan 80% kematian di China pada tahun 2011, sedangkan kasus AHPND di Meksiko mengakibatkan 81% kematian.
Salah satu upaya penanggulangan dan pencegahan timbulnya penyakit, penggunaan antibiotic sangat umum. Antibiotik sebagai pengendali penyakit sudah dilarang digunakan, hal ini karena dapat menyebabkan munculnya patogen yang kebal antibiotik dan meninggalkan residu di lingkungan dan pada tubuh udang. Salah satu upaya pengendalian dan pencegahan penyakit pada udang adalah melalui peningkatan sistem pertahanan udang dengan menggunakan imunostimulan. Imunostimulan bersifat biologis dan disintesis dari senyawa yang dapat menginduksi sistem kekebalan non-spesifik pada udang.
Bahan alam yang dapat dijadikan sumber obat alami salah satunya dari ekstrak makrolagae seperti Caulerpa racemose atau yang sering disebut sebagai anggur laut. Caulerpa racemosa berpotensi sebagai sumber fitokimia yang memiliki aktivitas imunologi yaitu polisakarida sulfat. Polisakarida sulfat memiliki aktivitas biologis seperti imunologi, antivirus, dan anti oksidasi. Polisakarida sulfat dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan mengaktifkan aktivitas makrofag. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Caulerpa racemosa terhadap total bakteri dan kelangsungan hidup udang vaname (Litopenaeus vannamei) setelah terinfeksi Vibrio parahaemolyticus.
Kelimpahan Bakteri pada Udang
Jumlah bakteri pada T1 atau satu hari setelah infeksi V. parahaemolyticus, perlakuan K + berbeda nyata (p <0,05) terhadap K-, P1, P2 dan P3. Jumlah bakteri tertinggi ditunjukkan pada perlakuan kontrol positif (K +), udang tanpa ekstrak C. racemosa dan terinfeksi V. parahaemolyticus (26,20 x 104 CFU / ml). Sedangkan pada T7 atau tujuh hari setelah terinfeksi V. parahaemolyticus total bakteri pada perlakuan P1 berbeda nyata (p <0,05) terhadap perlakuan K-, K +, P2 dan P3. Jumlah bakteri menurun pada T7 yaitu pada perlakuan P3 yaitu 20,46 × 104 CFU / ml.
Sintasan Udang
Tingkat kelangsungan hidup udang vaname telah berhasil diamati. Tingkat kelangsungan hidup udang vaname selama pemeliharaan setelah pemberian ekstrak C. racemosa pada T1 atau satu hari setelah terinfeksi V. parahaemolyticus berkisar antara 83,33 (P1) hingga 100% (P2 ) dan hasil analisis variabilitas (ANOVA) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p˂0,05). Kelangsungan hidup udang pada perlakuan P2 (100%) berbeda nyata dengan perlakuan P1 (83,33%), tetapi tidak berbeda nyata (p> 0,05) dengan perlakuan K-, K + dan P3. Tingkat kelangsungan hidup udang vaname berkisar antara 56,67 (K +) sampai 93,33% (P2) dan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p˂0,05) pada T7.
Jumlah bakteri yang diisolasi dari hepatopankreas udang karena perubahan gejala klinis yang muncul adalah hepatopankreas pucat. Penyakit nekrosis hepatopankreas akut (AHPND) atau dikenal dengan Early mortalitas syndrome (EMS) diketahui menyerang organ ini. Jumlah bakteri di T1 (satu hari setelahnya
Manfaat Ekstrak dan Mekanisme kerja Ekstrak Caulerpa racemosa
Jumlah bakteri yang diisolasi dari hepatopankreas udang karena perubahan gejala klinis yang muncul adalah hepatopankreas pucat. Penyakit nekrosis hepatopankreas akut (AHPND) atau dikenal dengan Early mortalitas syndrome (EMS) diketahui menyerang organ ini. Jumlah bakteri pada T1 (satu hari setelah infeksi V. parahaemolyticus) menurun pada semua perlakuan dengan pemberian ekstrak C. racemosa pada perlakuan P1, P2 dan P3 yaitu 17,03 × 104 CFU / ml, 21,36 × 104 CFU / ml dan 21,26 × 104 CFU / ml, masing-masing. Sementara itu. Pada perlakuan kontrol positif (K +), udang tanpa ekstrak C. racemosa dan terinfeksi V. parahaemolyticus menunjukkan jumlah bakteri tertinggi (26,20 x 104 CFU / ml). Hal ini menunjukkan bahwa polisakarida sulfat yang terkandung dalam ekstrak C. racemosa mulai bekerja sebagai imunostimulan yang dapat menurunkan jumlah bakteri di hepatopankreas. Menurut Suleman S. dan Ating (2018) penambahan polisakarida tersulfasi dari ekstrak Ulva lactuta dapat meningkatkan aktivitas sistem imun pada udang. Hal ini disebabkan adanya peningkatan hemosit total dan aktivitas fagositosis pada udang setelah pemberian ekstrak. Hemosit adalah salah satu bentuk pertahanan seluler dari udang. Haemosit dapat memadamkan infeksi yang disebabkan oleh patogen melalui sintesis dan eksositosis molekul bioaktif protein mikrobisidal. Menurut Cheng et al (2017) hemosit terdiri dari sel granular.semigranular dan hyalin. Sel hyalin berperan dalam fagositosis. Sel semigranular berperan dalam melanisasi. enkapsulasi dan koagulasi. sedangkan granular berperan dalam mengaktifkan sistem ProPO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada T7 atau 7 hari setelah terinfeksi V. parahaemolyticus terjadi peningkatan total bakteri kembali pada perlakuan P1 (24,90 × 104 CFU / ml) dan P2 (24,26 × 104 CFU / ml) tetapi ekstraknya diberikan dengan dosis 9 µg / g menunjukkan hasil bakteri total lebih rendah dari K+. Kondisi ini menandakan bahwa sistem imun sudah kembali normal sehingga pada kondisi ini perlu dilakukan pemberian kembali ekstrak C.racemosa (penguat). Menurut Ojerio et al (2018) bahwa pemberian imunostimulan melalui pemberian pakan setiap 3 hari sekali lebih efektif dibandingkan pemberian imunostimulan setiap 7 dan 10 hari sekali. Hal ini dikarenakan udang tidak memiliki sel memori dan sifat respon imun udang yang bersifat jangka pendek. Sehingga perlu adanya pemberian imunostimulan secara berkala agar dapat meningkatkan sistem imun non spesifik pada udang.
Tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada T1 (satu hari setelah terinfeksi V. parahaemolyticus) ditemukan pada perlakuan dengan penambahan ekstrak C. racemosa 6 µg / g (P2) yang mencapai 100% dan nilai terendah pada perlakuan P1 (83,33%). Pada hari ke 7 nilai kelangsungan hidup pada perlakuan P2 (93,33%) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K + (56,67%). Menurut Tayag et al (2010) 6-20 μg / g ekstrak Spirulina platensis yang diinjeksikan ke udang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Ini karena kandungan polisakarida sulfat pada rumput laut dapat merangsang sistem kekebalan udang. Polisakarida sulfat dalam Gracilaria verrucosa dapat merangsang respon imun udang dengan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit sehingga tingkat kelangsungan hidup udang tinggi.
Hasil pengamatan gejala klinis udang yang terinfeksi V. parahaemolyticus antara lain: hepatopankreas pucat, usus kosong, uropod memerah dan agas. Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri halofilik yang menyerang udang putih dan menyebabkan kelesuan, gerakan renang tidak teratur, usus kosong dan blansing hepatopankreas. Hasil pengukuran parameter kualitas air masih dalam nilai optimum dan toleransi terhadap kehidupan udang putih. Temperatur selama perawatan adalah 28-30,1oC. nilai ini cocok untuk budidaya udang putih, yaitu antara 28 – 33oC. Salinitas selama pemeliharaan udang vaname adalah 15 ppt. Nilai tersebut masih dalam batas toleransi pemeliharaan udang vaname. yaitu salinitas 15 – 32 ppt. Hasil pengukuran parameter pH rata-rata adalah 7 – 8 dimana hasil tersebut berada pada nilai optimum untuk budidaya udang windu yaitu 7,5 – 8,5. Hasil rata-rata parameter Dissolved Oxygen adalah 3,87-5,33 ppm. Nilai Dissolved Oxygen yang optimal dalam budidaya udang putih adalah> 3 ppm. Pemberian ekstrak C. racemosa dengan cara disuntikkan dapat mempengaruhi total bakteri pada udang vaname setelah diinfeksi Vibrio parahaemolyticus. Pada hari pertama setelah infeksi. total bakteri pada perlakuan dengan pemberian ekstrak C. racemosa lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif. Pemberian ekstrak C. racemosa dapat mempengaruhi kelangsungan hidup udang vaname dan tertinggi dicapai pada perlakuan dengan dosis 6 µg/g.
Penulis: Dr. Woro Hastuti Satyantini
Tulisan lengkap pada link : https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/679/1/012068/meta
Pratiwi, A. F., Satyantini, W. H., Mahasri, G., Sulmartiwi, L., & Mukti, A. T. (2021, February). The administration of Caulerpa racemosa extract on total bacteria and survival rates of white shrimp (Litopenaeus vannamei) after infected by Vibrio parahaemolyticus. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 679, No. 1, p. 012068). IOP Publishing.