Apa Penyebab Bias Konfirmasi pada Partisan di Media Sosial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Pelayanan Publik

Keberadaan internet dan media sosial dapat berdampak positif terhadap demokrasi dengan memberikan otonomi bagi individu dalam membuat konten dan mendapatkan informasi tanpa batas yang dapat diakses oleh siapa saja (Dahlberg, 2007). Namun demikian, kanal terbuka yang ada di internet juga mengubah bagaimana penetapan agenda dan propaganda yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Dalam penelitian Shin & Thorson (2017) dan Ardi (2019), partisan pengguna internet beberapa kali kedapatan tidak melakukan pengecekan fakta atas berita yang menyesatkan, provokatif, dengan kebenaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka secara selektif hanya membagikan pesan yang sesuai dengan selera mereka (Shin & Thorson, 2017). Garrett (2009) menyatakan bahwa individu cenderung dimotivasi oleh keinginan untuk membenarkan pendapat politiknya saat menggunakan media. Motivasi ini kemudian membuat individu memiliki bias konfirmasi.

Bias konfirmasi dilihat sebagai kecenderungan untuk mendukung informasi yang mendukung asumsi dan pemikiran awal seseorang dibandingkan mengeksplorasi informasi secara lebih ilmiah dan netral (Hogg & Vaughan, 2011). Penyelidikan bias konfirmasi di media sosial dilatarbelakangi oleh fenomena ruang gema di mana ternyata algoritma di media sosial telah mengarahkan pengguna untuk memperkuat asumsi yang sudah mereka punyai. Fenomena ini terjadi karena prioritas dalam hasil mesin pencari dan newsfeed media sosial hanya didasarkan pada aktivitas pengguna, seperti riwayat berbagi, klik, suka, komentar, dan pencarian (Bessi, 2016; Jamieson & Cappella, 2008; Tufekci , 2015). Hal ini menjadikan sebagian besar pengguna seperti katak dalam tempurung ketika melihat kejadian tertentu yang hanya diarahkan berdasarkan seleranya saja (Montag, 2019). Internet telah menjadikan individu sebagai titik pusat konsumsi dan produksi informasi. Di sisi lain, algoritma media juga telah membuat individu-individu yang cenderung tidak kritis, berpikiran tertutup, menganggap kelompok mereka lebih unggul dari yang lain, serta semakin terperangkap dalam keyakinan bias mereka.

Bagi pengguna internet, berpikir kritis memiliki peran mendasar sebagai filter awal untuk memutuskan apakah akan mempercayai suatu informasi sebelum membagikannya kepada lebih banyak audiens yang lebih besar. Berpikir kritis berkaitan erat dengan masalah kognitif dan erat kaitannya dengan keterbukaan terhadap pengalaman (Clifford, Boufal, & Kurtz, 2004). Dalam riset ini, berpikir kritis akan dilihat dalam dua dimensi yang independent, yaitu sebagai: 1) kemampuan dalam melakukan skeptisisme reflektif; dan 2) keterbukaan kritis. Seseorang yang memiliki dua kemampuan dalam dimensi berpikir kritis tersebut diduga cenderung meminimalkan bias konfirmasi yang mereka miliki.

Faktor lain yang terkait dengan bias konfirmasi adalah kepribadian otoritarian dan persepsi atas hak kolektif (collective entitlement). Lavine dkk. (2005) menemukan bahwa individu yang cenderung memiliki kepribadian otoritarian cenderung secara selektif hanya memilih informasi yang sejalan dengan sikap yang sudah diambilnya. Sementara konsep hak kolektif ini diasumsikan berkaitan dengan bagaimana individu cenderung menganggap kelompoknya lebih pantas dan berhak atas segala sesuatu. Kelompok yang cenderung memiliki persepsi seperti ini cenderung pula mengalami bias konfirmasi dengan memilih informasi yang mendukung kelompoknya. Selain itu, penelitian juga melihat bagaimana hubungan antara preferensi politik (e.g. pro kandidat presiden incumbent dan pro-oposisi) dan bias konfirmasi didasarkan pada fenomena kontekstual. Setelah pemilihan presiden 2014, media sosial Indonesia setiap kubu partisan hanya akan cenderung memilih berita yang mendukung pandangannya sendiri.

Secara eksplisit penelitian ini ingin menginvestigasi apakah ada korelasi antara preferensi politik (yang terwujud dalam pemilihan calon presiden) dengan bias konfirmasi. Selain itu juga akan dilihat bagaimana peran masing-masing variabel (i.e. Keterbukaan kritis, skeptisisme reflektif, kepribadian otoritarian; dan persepsi hak kolektif) dapat memprediksi kecenderungan bias konfirmasi.

Metode dan Hasil

Penelitian dilakukan pada tahun 2017 dengan menggunakan mahasiswa yang menjadi partisan di organisasi ekstra kampus di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya. Total partisipan adalah 95 orang. Penggalian data dilakukan dengan mendatangi langsung partisan yang telah bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Responden berusia antara 18 hingga 24 tahun  di mana 59% adalah laki-laki dan 41% lainnya perempuan. Sebanyak 44% peserta melaporkan menghabiskan waktu online lebih dari empat jam sehari, 24% menghabiskan tiga hingga empat jam sehari, 19% menghabiskan dua hingga tiga jam sehari, sementara sisanya menghabiskan waktu kurang dari dua jam sehari. Enam puluh satu persen melaporkan nasionalisme religius sebagai ideologi pilihan mereka, 14% lebih memilih nasionalisme, 7% menginginkan negara berbasis hukum agama, 11% diidentifikasi sebagai sosialis demokrat. Sebanyak 37% siswa mendukung kandidat presiden petahana dan 46% mendukung kandidat oposisi, sementara sisanya abstain.

Beberapa instrumen digunakan untuk keperluan studi ini. Instrumen untuk mengukur bias konfirmasi sengaja dibuat untuk keperluan penelitian ini. Intrumen lain yang digunakan merupakan adopsi dari instrument yang sudah tervalidasi yaitu: skala berpikir kritis (terdiri dari dua dimensi i.e. skeptisisme reflektif dan keterbukaan kritis), skala kepribadian otoritarian, dan skala persepsi atas hak kolektif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua peserta telah menggunakan media sosial untuk mendapatkan informasi politik. Enam puluh persen (60%) dari mereka juga pernah aktif terlibat dalam diskusi dan komentar tentang dinamika politik Indonesia di media sosial. Sedangkan 28,4 persen jarang dan sangat jarang terlibat dalam diskusi online semacam itu, dan sisanya 11,6 persen memilih untuk tidak menjawab.

Data tentang bias konfirmasi dikategorikan berdasarkan norma hipotetis. Dimana skor bias konfirmasi dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan pengelompokan tersebut, teridentifikasi 36 partisipan memiliki kecenderungan bias konfirmasi yang tinggi, sedangkan 43 partisipan lainnya termasuk dalam kelompok sedang, dan 16 partisipan yang tersisa memiliki kecenderungan bias konfirmasi yang rendah.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kepribadian otoritarian, keterbukaan kritis, dan persepsi atas hak kolektif berkorelasi dengan bias konfirmasi. Namun, skeptisisme reflektif dan preferensi politik tidak berkorelasi dengan bias konfirmasi. Hasil yang menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara preferensi politik  dengan bias konfirmasi menjadi sesuatu yang menarik. Hal tersebut sebenarnya memperkuat studi yang dilakukan oleh Brandt, et al. (2014), yang melaporkan bahwa kaum liberal dan konservatif cenderung mengekspresikan tingkat intoleransi yang sama terhadap berbagai ideologi dan kelompok yang mengancam. Artinya, individu masih bisa terjebak dengan praduga tanpa memandang preferensi politiknya.

Penulis: Dr. Rahkman Ardi

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://journal.uad.ac.id/index.php/HUMANITAS/article/view/19664

Ardi, R. , & Pradiri, A.P. (2021). Determinant factors of partisans’ confirmation bias in social media. Humanitas, 18(1). https://dx.doi.org/10.26555/humanitas.v18i1.1966

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp