Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai memerintah pada 2014, sejumlah kebijakan ekonomi yang pro-kepentingan nasional diambil dan diimplementasikan. Berbagai sektor strategis diproteksi dengan alasan agar memperkuat kinerja aktor-aktor ekonomi lokal. Sektor pertambangan adalah yang paling terdampak, terutama muncul berbagai reaksi mitra investor maupun trader yang sebelumnya menikmati keleluasaan dalam melakukan bisnis tambang di Indonesia. Namun Jokowi tidak bergeming. Nasionalisme ekonomi jalan terus dan menjadi salah satu ciri khas pemerintahan di bawah Kabinet Kerja Jokowi.
Ditinjau dari perspektif ekonomi politik internasional, nasionalisme ekonomi merupakan resultan dari dinamika politik domestik dan internasional. Tekanan dari dalam negeri serta pemain global membuat pemerintah nasional mengetatkan kontrol terhadap aspek-aspek krusial perekonomian lokal, khususnya yang menyangkut produksi massal dan bernilai profit tinggi. Jelas faktor legitimasi berperan mendorong intensitas proteksionisme perdagangan, industri dan jasa, terjadi tidak hanya di negara-negara Asia, tetapi merupakan fenomena akut bahkan di ekonomi industrialis maju Eropa Barat dan Amerika Utara. Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump termasuk di antara pemimpin dunia yang mendukung nasionalisme ekonomi dengan jargon “America first”.
Di arena politik domestik, Jokowi menghadapi tantangan terhadap legitimasi pemerintahannya yang berasal dari pihak oposisi. Hasil pemilihan presiden tahun 2014, saat mana Jokowi bertanding head-to-head dengan Prabowo Subianto, menimbulkan problema tersendiri bagi Jokowi. Kemenangan yang diraih Jokowi kurang dari enam persen dan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/parlemen capaian kursi partai-partai pendukung Jokowi jauh di bawah partai-partai pengusung Prabowo. Oleh sebab itu, Jokowi menghadapi rintangan politik besar untuk meneruskan kebijakan-kebijakan yang diputuskan ke parlemen untuk mendapat dukungan. Contoh yang cukup berdampak ialah keputusan Jokowi untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Nopember 2014. Tentangan dan protes bermunculan di berbagai kota besar dan para politisi oposisi bersuara keras menolak kebijakan Jokowi. Alih-alih merespons dengan mengakomodasi ketidaksetujuan banyak kalangan masyarakat maupun elit terhadap kenaikan harga BBM, Jokow menantang balik para pengkritik jika ia berani menjalankan kebijakan kontroversial, sebab dilatarbelakangi oleh niat meningkatkan produktivitas anak bangsa. Uang dari peningkatan devisa yang bisa dihemat dengan pencabutan subsidi BBM akan diperuntukkan membangun infrastruktur, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Dengan argumen yang pro-rakyat inilah Jokowi meluaskan jangkauan proteksionisme ekonomi dan perdagangan, demi menopang keabsahan kepemimpinannya.
Di kancah global, pergeseran kekuatan dan kekayaan dunia ke Asia Timur menimbulkan dampak sistemik, baik bagi pemain regional maupun aktor kelas menengah seperti Indonesia. Sumber utama legitimasi internasional Indonesia ialah peran aktif dalam ASEAN sebagai pengerak regionalisme dan institusi-institusi kunci Asia-Pasifik. Namun, selama dua dekade terakhir posisi sentralitas ASEAN telah mengalami tantangan berkenaan dengan dinamika intra maupun ekstra ASEAN. Penambahan jumlah anggota, dengan masuknya Kamboja, Myanmar, Laos dan Vietnam, menjadi beban politik ASEAN. Pengambilan keputusan tambah rumit dan bertele-tele, apalagi menyoal agresivitas Tiongkok di Laut China Selatan. Di luar ASEAN, perkembangan pesat aneka ragam lembaga multilateral baru, seperti Trans-Pacific Partnership dan Regional Comprehensive Economic Partnership, yang merefleksikan pertarungan ekonomi dan politik Beijing dan Washington, semakin mendesak dan membatasi ruang gerak ASEAN. Karena itu, Indonesia pun terpengaruh. Jokowi harus mengambil langkah-langkah defensif lewat proteksi sumber-sumber ekonomi strategis di dalam negeri. Sehingga, rasional bila nasionalisme ekonomi menjadi opsi terbaik bagi Jokowi.
Penulis: I Gede Wahyu Wicaksana
I Gede Wahyu Wicaksana. 2021. Economic Nationalism for political legitimacy in Indonesia. Journal of International Relations and Development. Vol 24. Number 1. 27-50.
Detail artikel ini dapat dilihat di: https://link.springer.com/article/10.1057%2Fs41268-019-00182-8