Mengupas Tata Kelola Hulu Migas Konstitusional Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
ILUSTRASI offsoreindonesia.com
ILUSTRASI offsoreindonesia.com

UNAIR NEWS – Badan Kerjasama dan Manajemen Pengembangan Universitas Airlangga (BKMP UNAIR) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan topik “Tata Kelola Sumber Daya Alam (SDA) Migas Menurut Konstitusi (UUD 1945) dan Menuju Konsep Pengusahaan Hulu Migas yang Ramah Investasi, Akuntabel, Efektif, dan Efisien” pada Kamis, (29/04). FGD bertempat di Hall Amerta, Kantor Manajemen, Kampus C UNAIR dan disiarkan pada platform zoom meeting.

Salah satu narasumber pada FGD tersebut adalah M. Kholid Syerazi selaku pengamat hulu migas. Pada kesempatan itu, Kholid memaparkan tentang tata kelola hulu migas konstitusional.

Kholid menyatakan, rekomendasi perubahan undang-undang (UU) migas sudah ditunda selama 13 tahun. Hal itu diperkuat dengan putusan MK-RI terhadap uji materi UU. No 22/2001. Putusan tersebut memiliki dua kerangka besar yaitu, norma desain administratif dan norma desain fiskal.

“Desain kelembagaan yang dimandatkan MK (Mahkamah Konstitusi) adalah yang mampu menampung lima norma, yaitu mengadakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi kebijakan. Bentuk pengelolaan yang tepat menurut MK adalah pengelolaan langsung oleh BUMN,” jelasnya.

Kholid menambahkan, konstruksi pengawasan migas negara menggunakan model tiga kaki. Model yang diadopsi dari Norwegia tersebut, memisahkan fungsi kebijakan oleh negara, regulator oleh pemerintah, dan komersial oleh badan usaha. Menurut MK, fungsi komersial itu cacat, sebab semua badan usaha memiliki kedudukan yang sama. Seharusnya, perusahaan negara secara otomatis bekerja sama dengan BUMN, sebagai wakil negara.

“Kita mengadopsi model dari Norwegia karena dianggap berhasil mengelola sumber migasnya. Tetapi, kita mengadopsinya tidak sempurna. Birokrasi yang masih kurang. Lalu, kita juga tidak punya uang minyak yang dapat digunakan sebagai bantalan fiskal,” paparnya.

Selanjutnya, ia membahas tentang fiscal arrangement yang terbagi menjadi dua yaitu, konsesioner dan kontraktual. Indonesia kini menganut konsep konsesioner seperti negara berkembang kebanyakan. Yang mana sumber daya alam milik negara, produksi milik IOCs.

Pada akhir, ia mengungkapkan dua gagasannya, yaitu, pemerintah yang memiliki legal drafting lebih kuat, sebaiknya melanjutkan revisi UU migas yang telah mangkrak selama tiga periode DPR. Prinsip dan norma yang dikeluarkan MK harus sesuai dengan legal drafting tersebut. Kedua, menurutnya, SKK Migas harus menjadi BUMN agar dapat meningkatkan PI.

“Mengurus migas ini tidak cukup dengan modal nasionalisme dan semangat saja. Tiga kunci yang saya sebut tata kelola multistick holder, konstitusi negara, tata kelola kelembagaan maupun fiskal harus benar-benar mengundang investor, dan juga harus melibatkan masyarakat,”  tutupnya. (*)

Penulis: alysa intanEditor: Feri Fenoria

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp