Seperti kita ketahui bahwa dewan komisaris merupakan salah satu organ utama pada struktur good corporate governance (GCG) perusahaan. Salah satu isu penting yang berkaitan dengan dewan komisaris adalah keberadaan perempuan sebagai anggota dewan. Keberagaman jender telah menjadi pembahasan utama, khususnya kesetaraan perempuan untuk dapat menempati posisi-posisi penting di masyarakat modern di Indonesia. Di era knowledge economy, modal intelektual juga berperan penting pada keberhasilan kinerja perusahaan. Sangatlah menarik untuk mengetahui apakah keragaman jender dalam dewan komisaris memengaruhi pengungkapan modal intelektual perusahaan.
Kajian ini dilakukan pada perusahaan-perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk periode 6 tahun (2012 – 2017) yang secara konsisten masuk dalam IDX30 dan Pefindo25 Index. Data diambil dari Laporan Tahunan perusahaan-perusahaan yang menjadi sampel kajian ini, yaitu sebanyak 28 perusahaan yang terdiri dari 21 perusahaan berkapitalisasi besar dan 7 perusahaan berkapitalisasi kecil. Uji-T berpasangan digunakan untuk mengetahui perubahan signifikan dalam tingkat pengungkapan antar periode dan jenis perusahaan. Analisis regresi linier digunakan untuk menguji pengaruh keragaman jender di dewan komisaris dan beberapa variabel pengendali lain terhadap pengungkapan modal intelektual.
Hasil kajian membuktikan bahwa di perusahaan dengan kapitalisasi besar, dari total 60 item modal intelektual sebanyak 53 item diungkapkan oleh perusahaan, yaitu modal struktural (15), modal sumberdaya manusia (20), dan modal relasional (18). Modal struktural terdiri dari sistem informasi, proses, database, kebijakan, kekayaan intelektual, budaya, pengetahuan tertanam dalam struktur dan proses organisasi. Modal sumber daya manusia mengacu pada keterampilan/ kompetensi, pelatihan dan pendidikan, dan pengalaman serta karakteristik nilai tenaga kerja organisasi (pengetahuan, kompetensi, keterampilan, pengalaman, pengetahuan, kapabilitas, dan keahlian dari anggota manusia). Modal relasional terdiri dari semua jejaring dan atribut relasional perusahaan, seperti mitra, pemasok, klien, merek dagang, brand, dan reputasi.
Berbeda dengan di perusahaan besar (IDX30), di perusahaan kecil (Pefindo25) ditemukan lebih sedikit pengungkapan modal intelektual. Di perusahaan dengan kapitalisasi kecil, dari total 50 item modal intelektual, 41 item diungkapkan oleh perusahaan. Pada modal struktural, merek dagang dan kepemimpinan mendominasi pengungkapan meski aspek organisasi budaya, sistem informasi, dan R&D juga diungkapkan. Sementara itu, filosofi manajemen, sistem jaringan dan aset intelektual paling sedikit diungkapkan. Pada modal sumber daya manusia, remunerasi dan pelatihan lebih sering diungkapkan dibanding aspek bakat yang paling sedikit diungkapkan. Di modal relasional merek, pelanggan, dan investor lebih sering diungkapkan dibanding kolaborasi bisnis.
Tingkat dan kualitas pengungkapan modal intelektual tampak bervariasi secara signifikan di antara perusahaan. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya kesadaran dan kurangnya mekanisme yang memadai untuk mengukur modal intelektual. Ditambah lagi, pelaporan modal intelektual bersifat bukan wajib (mandatory), melainkan bersifat sukarela (voluntary) dan tidak ada kerangka kerja yang diterima secara umum. Hal ini juga menyebabkan rendahnya pengungkapan modal intelektual di Indonesia. Kajian ini menyimpulkan bahwa perusahaan dengan kapitalisasi besar mengungkapkan modal intelektual lebih banyak dibanding perusahaan dengan kapitalisasi kecil.
Apakah keragaman jender dalam dewan komisaris berpengaruh pada pengungkapan modal intelektual perusahaan di Indonesia? Keragaman jender dalam dewan komisaris terbukti memengaruhi pengungkapan modal intelektual di kelompok perusahaan dengan kapitalisasi kecil, tetapi dampaknya ternyata negatif. Hal ini bisa jadi disebabkan karena keterpaksaan atau tekanan masyarakat untuk menempatkan perempuan sebagai anggota dewan seperti juga dikemukakan peneliti-peneliti sebelumnya, misalnya Ahern & Dittmar (2012) dan Triana dkk. (2013). Pada kelompok perusahaan berkapitalisasi besar, keragaman jender tidak berpengaruh pada pengungkapan modal intelektual perusahaan. Hal ini diduga disebabkan karena pengungkapan modal intelektual di Indonesia tidaklah wajib (mandatory) melainkan hanya bersifat sukarela (voluntary).
Temuan-temuan kajian ini berimplikasi pada kebijakan investor mengenai proporsi perempuan di dewan komisaris yang selama ini digaungkan oleh masyarakat. Penunjukan perempuan yang semakin profesional di dewan komisaris seharusnya dapat meningkatkan kinerja perusahaan melalui peran mereka dalam mengawasi perusahaan, khususnya pengelolaan modal intelektual. Dalam beberapa penelitian terbukti bahwa peran perempuan di jajaran pimpinan organisasi di Indonesia memang masih sedikit sehingga perlu ditingkatkan di masa mendatang. Temuan ini juga dapat menjadi masukan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat aturan yang memberikan peran lebih besar pada kelompok perempuan dalam menduduki jabatan jabatan penting di perusahaan.
Penulis: Mohammad Herli, Bambang Tjahjadi, Hafidhah Hafidhah
Link jurnal: https://www.koreascience.or.kr/article/JAKO202100569388282.pdf