UNAIR NEWS – Penyerangan teroris di Markas Besar Polri oleh seorang perempuan bernama Zakiah Aini beberapa waktu lalu disebut dilakukan secara lone wolf atau bergerak sendiri. Model lone wolf ini menurut pakar sosiologi UNAIR Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si. merupakan pergeseran cara terorisme dalam melakukan serangan. Menurutnya pelaku serangan bertindak secara amatir dan tidak ada target yang jelas, hanya didorong oleh emosional saja.
“Penyerangan lebih pada simbolik, seperti tokoh atau lembaga yang dianggap musuh. Kan polisi dianggap musuh oleh mereka (teroris, Red),” ujarnya saat dihubungi melalui telepon, Kamis (8/4).
Penemuan surat wasiat yang mirip tidak mengindikasikan mereka ada dalam jaringan yang sama, namun cenderung diindikasi sebagai korban propaganda radikalisasi internet. Prof Bagong juga menyebut bahwa lone wolf kebanyakan terjadi karena paparan radikalisme di internet.
“Bukan berarti mereka saling berhubungan atau kontak secara langsung, tapi sama-sama korban ekspansi radikalisme jaringan yang menebar radikalisme melalui internet,” jelasnya.
Terlebih, serangan dari dunia maya tidak mudah untuk dihindari. Habitus sosial anak juga turut mempengaruhi. Menurut Prof Bagong, anak yang terlihat diam itu tidak dapat dikategorikan aman, karena serangan dimulai dari dunia maya dan tidak bisa diduga.
Anak Muda Menjadi Target
Pergeseran pergerakan teroris menggunakan internet, kata Prof Bagong, banyak menyasar anak muda. Hal ini bukan membuktikan bahwa anak muda lebih mudah dipengaruhi, namun persentase anak muda yang mengakses internet lebih banyak, sehingga probabilitasnya lebih besar.
Selain persentase, anak muda yang distereotip kritis ini jadi mudah terpapar radikalisme, ada faktor lain yang menjadi pendorong. Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu juga menyebut bahwa anak muda yang memiliki psikologis rentan mudah terdoktrin.
“Bisa jadi dia dari anak muda yang marginal atau tersisihkan, bisa juga dia korban, mungkin kekerasan seksual, broken home,” paparnya.
Perlunya Literasi Kritis
Saat ini, pemerintah sudah berusaha untuk memblokir situs yang diduga menyajikan konten radikalisme, namun hal tersebut bukan langkah paling efisien. Saat ini pembuatan situs sudah sangat mudah dilakukan seperti kata pepatah gugur satu tumbuh seribu.
“Persenjataan dalam era post-modern itu diblokir satu mereka bisa buat lagi saat itu juga, kuncinya literasi kritis dari anak muda,” ujarnya.
Literasi kritis, lanjut Prof Bagong, dapat berupa yang tidak mudah percaya hoaks dan mempertanyakan informasi yang didapat melalui internet atau dari sumber manapun.
Selain itu, selain berasal dari kesadaran individu, ekspansi radikalisme dapat dicegah dengan peran aktif keluarga. Butuh mekanisme deteksi dini dari orangtua ketika mengetahui kejanggalan perilaku dan pemikiran anak.
“Orang tua jangan berpikir kalau anak masuk kamar aman, malah yang nggak keluar-keluar bahaya,” kata Prof Bagong. “Kalau anak misalnya mulai mempersoalkan cara orangtuanya berpakaian, harus berjilbab lebih tertutup, itu orang tua harus ada mungkin anak ini dipengaruhi,” tegasnya.
Peran banyak pihak juga dibutuhkan seperti guru sebagai pendidik karena banyak yang masih merasa paparan radikalisme khususnya dari internet tidak dirasa serius, padahal hal ini merupakan hal serius dan perlu ditangani. (*)
Penulis : Tata Ferliana W.
Editor : Binti Q Masruroh