Stroke adalah penyakit saraf yang merusak. Secara umum, stroke diklasifikasikan menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah stroke iskemik, terdiri dari 85% stroke. Dan tipe kedua adalah stroke hemoragik, terdiri dari 15% dari semua stroke. Namun penyakit ini tidak bisa dilihat sebagai hitam dan putih karena stroke ini adalah sindrom dengan komplikasi yang parah. Penyebab stroke iskemik terdiri dari banyak penyebab seperti kardioemboli, arteroemboli, lakunar, dan penyebab lain yang bervariasi antar populasi. Tingkat keparahan dan manifestasi klinis dari troke dapat bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya. Tingkat keparahannya berkisar dari stroke ringan hingga stroke, dengan kemungkinan penyebab serupa yang mendasari. Stroke merupakan salah satu penyebab utama kecacatan. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 20 juta orang yang menderita stroke dan lebih dari 6 juta kematian terjadi karena stroke. Mayoritas morbiditas ini berasal dari negara ketiga yang terdiri dari 75,2 dari semua kematian terkait stroke. Di Asia dimana terdapat banyak negara maju, stroke merupakan masalah kesehatan yang utama. Angka kematian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan benua lain seperti Eropa dan Amerika, kecuali di beberapa negara seperti Jepang. Angka kejadian stroke terendah ditemukan di Malaysia (67 / 100.000 orang-tahun).
Epilepsi pasca stroke atau kadang disebut juga dengan post stroke seizure merupakan komplikasi pasca stroke yang ditandai dengan epilepsi atau kejang. Perbedaannya adalah bahwa kejang pasca stroke adalah kejang tunggal atau berulang yang dikaitkan dengan keadaan kerusakan yang dapat diperbaiki atau tidak dapat disembuhkan karena stroke yang terjadi pada tahap awal stroke. Sedangkan epilepsi pasca stroke diartikan sebagai penegakan diagnosis epilepsi yang terjadi setelah kejadian stroke. Diagnosis epilepsi dapat menurunkan kualitas hidup sekaligus meningkatkan mortalitas penderita. Pada pasien yang menderita epilepsi pasca stroke, ditemukan angka kematian yang lebih tinggi, sekitar 3,4% – 4% dibandingkan dengan komplikasi stroke lainnya. Literatur lain oleh mendefinisikan pasien dengan epilepsi pasca stroke jika pasien menderita satu kali kejang pasca stroke, 2 tahun setelah stroke.
Prevalensi menunjukkan bahwa 11,5% pasien yang mengalami stroke memiliki risiko mengalami komplikasi berupa kejang baik onset dini maupun lambat. Menurut penelitian yang mengikuti pasien stroke 5 tahun setelah serangan, ditemukan bahwa 5% – 20% pasien akan mengalami kejang di kemudian hari, tetapi hanya sebagian pasien yang akan mengalami epilepsi yang ditandai dengan kejang berulang tanpa provokasi. Prevalensi epilepsi pasca stroke pada orang dewasa yang menderita stroke ditemukan sekitar 2% hingga 4%. Dalam berbagai penelitian di berbagai negara, angka ini paling mendekati prevalensi temuan ini. Prancis menemukan bahwa 6,9% pasien yang menderita stroke mengalami kejang pasca stroke. Sedangkan Finlandia mencatatkan angka 3,5% dan 4,2%. Sedangkan di Rajasthan, angka kejang dini pasca stroke 54% dan kejang pasca stroke 46%. Sedangkan untuk post stroke epilepsi, di Jerman prevalensinya 8,2%, sedangkan post stroke epilepsi di Taiwan 1,6%. Faktor risiko epilepsi pasca stroke dan kejang pasca stroke bergantung pada berbagai faktor. Pada orang dewasa, faktor risiko yang umum adalah jenis stroke, ukuran infark, lokasi stroke, dan beratnya iskemia. Ditemukan bahwa hipertensi dan keparahan stroke dapat menjadi prediktor epilepsi pasca stroke. Namun, dalam literatur ini tidak ada temuan antara faktor metabolik dan kejadian kejang.
Literatur yang membandingkan obat antiepilepsi untuk pasien stroke masih sedikit. Pandangan yang diterima adalah untuk mengobati epilepsi pasca stroke dengan obat anti-epilepsi monoterapi. Pengobatan ini terbukti efektif dalam mengontrol kejang pada 88 persen pasien. Obat yang paling umum digunakan untuk epilepsi pasca stroke adalah karbamazepin. Lamotrigine juga merupakan obat pilihan lain dan lebih dapat ditoleransi pada pasien lanjut usia karena dapat mencegah kejang dalam durasi yang lebih lama. Benzodiazepine adalah pengobatan pilihan untuk kejang yang sedang berlangsung. Penatalaksanaan epilepsi pasca stroke dengan meresepkan Obat Anti Epilepsi (AED) harus mengikuti prinsip standar yang sama saat merawat pasien epilepsi. Monoterapi lebih disukai, tetapi jika gagal, disarankan untuk mengulang pemeriksaan dan mempertimbangkan diagnosis lainnya. Jika ini terjadi, AED baris kedua harus diresepkan. Perubahan dosis dan pengobatan harus dilakukan dengan hati-hati dengan mempertimbangkan periode penarikan. Prinsip terakhir menyatakan bahwa terapi kombinasi dapat diresepkan untuk beberapa pasien hanya jika diperlukan, tetapi efek samping dan interaksi obat harus dipantau.
Gabapentin adalah salah satu AED yang disetujui untuk diresepkan untuk epilepsi. Gabapentin bekerja melalui neurotransmitter yang disebut asam gammaaminobutyric atau GABA. Mekanisme pastinya sebagian besar masih belum diketahui, tetapi dari penelitian in vivo dan manusia ditemukan bahwa obat ini tidak dimetabolisme menjadi GABA atau GABA, dan juga tidak menghambat pengambilan ulang atau degradasi GABA. Gabapentin memiliki afinitas tinggi ke sub unit α2δ saluran kalsium yang diaktifkan tegangan dalam studi in vitro. Gabapentin bukanlah pengobatan mapan untuk epilepsi dan epilepsi pasca stroke. Meskipun mekanismenya tidak diketahui, gabapentin menunjukkan kemanjuran yang baik dan efek samping yang lebih rendah sebagai monoterapi dibandingkan dengan obat mapan lainnya seperti karbamazepin. Diperlukan lebih banyak penelitian, tetapi data yang tersedia menunjukkan bahwa gabapentin berpotensi menjadi obat monoterapi berikutnya untuk epilepsi pasca stroke.
Penulis: Nanda Rachmad Putra Gofur drg,.M.Biomed
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
http://www.medicaljournals.in/search?q=3-1-12
Nanda Rachmad Putra Gofur, Aisyah Rachmadani Putri Gofur, Soesilaningtyas, Rizki Nur Rachman Putra Gofur, Mega Kahdina, Hernalia Martadila Putri. Gabapentin as monotherapy for post stroke epilepsy. International Journal of Medical Science and Research 2021; 3(1): 06-07.