Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (MTB) dan merupakan salah satu dari 10 penyebab utama kematian di dunia. TB merupakan satu-satunya penyakit yang pernah dinyatakan sebagai darurat global oleh World Health Organization (WHO). Pada tahun 2017, sekitar 10 juta masyarakat di dunia menderita TB (5,8 juta adalah pria; 3,2 juta adalah wanita, dan 1 juta adalah anak-anak. Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) terus berkembang menjadi krisis kesehatan masyarakat. Sekitar 558.000 orang menderita Tuberkulosis-Resisten Rifampicin (TB-RR), yang merupakan obat TB lini pertama yang paling efektif, dan 82% menderita Multidrug Resistant-Tuberculosis (MDR-TB). Secara global, 3,5% TB kasus baru dan 18% kasus pengobatan ulang merupakan kasus MDR-TB/TB-RR. Pada tahun 2017, diantara kasus MDR-TB, sebanyak 8,5% dilaporkan menderita Extensively Drug Resistant-TB (XDR-TB). Di Indonenesia ditemukan kasus baru sebanyak 80% dan 41% kasus yang tidak dilaporkan.
Kesenjangan antara estimasi jumlah kasus baru dengan jumlah sebenarnya yang dilaporkan terjadi karena underdiagnoses sehingga diperlukan cakupan Drug Susceptibility Test (DST) yang jauh lebih tinggi pada orang yang didiagnosis TB untuk mengurangi underdiagnoses tersebut. Diagnosis TB berdasarkan kultur bakteri memerlukan waktu yang lama sehingga untuk mengatasi keterlambatan diagnosis diperlukan peningkatan kecepatan dan kualitas akurasi diagnosis MTB.
GeneXpert dan Line Probe Assay (LPA) adalah dua metode standar diagnostik molekuler yang telah dikembangkan untuk deteksi cepat terhadap resistensi obat dengan scanning DNA. Namun, terdapat ketidaksesuaian antara metode konvensional (DST) dengan metode diagnosis cepat (GeneXpert dan LPA). Penelitian kami mengamati validitas diagnosis dengan GeneXpert dan LPA apakah hasilnya akan sesuai atau tidak dengan hasil yang diberikan oleh DST.
Penelitian kami mengikutsertakan 81 pasien dengan diagnosis TB-RO dan 59 pasien diantaranya dengan diagnosis TB-RR. Hasil penelitian kami menunjukkan ketidaksesuaian hasil antara GeneXpert dan DST Rifampicin sebanyak 13,2%, LPA fluoroquinolone dan DST ofloxacin sebanyak 24,6%, serta LPA SLID dan DST kanamycin sebanyak 13,2%.
GeneXpert didesain untuk mengidentifikasi resistensi rifampicin. GeneXpert dapat mendeteksi MTB dalam waktu 2 jam. Spesifisitas dan sensitivitas GeneXpert untuk mendeteksi resistensi rifampisin lebih dari 98% dan 99%. Rifampicin bekerja dengan menghambat sintensis RNA. Deteksi resistensi rifampisin pada GeneXpert didasarkan pada hibridisasi atau tidak adanya lima molecular beacon probe yang melengkapi wild type sequence dari gen rpo-β. Ketidaksesuaian hasil antara GeneXpert dan DST Rifampicin memiliki persentase yang kecil dan akurasi dari identifikasi resistensi rifampicin mencapai 98%.
LPA merupakan rapid molecular diagnostics yang dapat mendeteksi MTB dan resistensi obat. Namun, LPA secara teknis lebih kompleks dan membutuhkan waktu lebih lama daripada GeneXpert. LPA lini pertema mendeteksi resitensi obat dengan mengidentifikasi mutasi pada gen rpo-β, katG, dan inhA. Lebih dari 95% strain resisten rifampicin dapat terdeteksi dengan menargetkan mutasi pada 81-base pair “core region” dari gen rpo-β.
LPA lini kedua mendeteksi resistensi fluoroquinolone (moxifloxacin) dan SLID (amikacin, kanamycin, dan kapreomisin) dengan mengidentifikasi mutasi pada gyrA dan rrs. Uji ini mendeteksi mutasi pada gen gyrA sebagai resisten terhadap fluoroquinolone dan mutasi pada gen rrs sebagai resisten terhadap kanamycin, amikacin, dan kapreomisin. Limit deteksi dari LPA adalah setidaknya 5×103 bacilli per mL sampel sehingga bacillary load harus cukup tinggi untuk bisa dideteksi dengan metode ini. LPA juga tidak mendeteksi semua mutasi pada posisi 533. Ketidaksesuaian hasil antara LPA dan DST mungkin dikarenakan oleh ekstraksi DNA. Dalam LPA, DNA diekstrak melalui sampel sputum sehingga DNA dari bakteri yang telah mati tetap terhitung. Persentase TB positif yang tinggi pada LPA mungkin berkaitan dengan limitasi teknis LPA yang tidak mampu membedakan bakteri hidup dan mati.
Penelitian kami menyimpulkan keberadaan GeneXpert dan LPA tidak secara total menggantikan smear dan kultur untuk deteksi TB. Tes molekuler tidak direkomendasikan untuk monitoring pengobatan. DST dapat digunakan selama pengobatan untuk menilai adanya resistensi tambahan atau infeksi ulang karena pengobatan pasien TB sangat bergantung pada temuan bakteriologis.
Penulis: Soedarsono
Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini,
https://medicopublication.com/index.php/ijfmt/article/download/13642/12533/26192