Identifikasi personal merupakan bagian dalam kedokteran forensik. Salah satu identifikasi dalam kedokteran forensik yakni dengan cara membandingkan data antemortem (AM) dan data postmortem (PM). Metode identifikasi personal dalam kedokteran forensik antara lain metode asosiatif-konvensional yakni sidik jari (daktiloskopi), pemeriksaan property, medis, gigi-geligi, serologi dan metode eksklusif. Beberapa kasus kadang sulit dipecahkan melalui penegakan identifikasi asosiatif-konvensional sehingga kadang perlu ditegakkan identifikasi melalui analisis Deoxy-ribonucleic acid (DNA). Identifikasi dengan analisis DNA dimulai sejak tahun 1996 di Amerika Serikat. Sejak saat itu analisis DNA dalam identifikasi personal memegang peranan penting dalam memecahkan berbagai kasus.
Metode identifikasi ini dapat digunakan bersama dengan metode lain atau secara sendirian dalam identifikasi, misalnya korban masal khususnya jika tubuh korban sudah mengalami mutilasi. Hasil analisis sampel biologis ini dapat berupa ada atau tidaknya hubungan genetik dari korban dengan anggota keluarganya. Setiap potongan dari bagian tubuh harus diidentifikasi dengan metode analisis DNA. Sejumlah kasus untuk identifikasi forensik korban yang masih sulit dianalisis adalah korban yang terbakar sangat parah maupun korban yang telah mengalami pembusukan.
Seringkali dalam proses pemeriksaan pada analisis DNA dihadapkan pada kondisi bahan atau spesimen pemeriksaan DNA yang tidak seperti diharapkan, contohnya spesimen tidak dalam kondisi segar atau fresh untuk dilakukan DNA typing atau dikenal dengan istilah DNA degraded (degradasi DNA). Kondisi degradasi DNA terutama dijumpai pada kasus dengan jenasah terbakar yang hebat atau kasus yang cukup lama sehingga jenasah sudah mengalami pembusukan yang terjadi pada jaringan lunak misalnya otot.
Degradasi DNA Efek Paparan Suhu Ekstrim Tinggi
Kondisi spesimen mengalami degradasi DNA akibat paparan suhu tinggi juga merupakan suatu kendala dalam analisis DNA. Degradasi DNA pada jaringan lunak juga sering terjadi pada tubuh korban yang sudah rusak oleh karena pembusukan. Pada kerusakan DNA akibat paparan suhu tinggi, akan terjadi kerusakan purin-pirimidin pada DNA yang merupakan komponen utama pada struktur DNA, sehingga terjadi proses strand dissociation dan degradasi DNA (kerusakan DNA). Apabila terjadi degradasi DNA, maka DNA tidak dapat diamplifikasi pada ukuran amplifikasi (amplicon size) tertentu. Sebagai upaya untuk mengatasi identifikasi dengan DNA yang mengalami kerusakan yakni dengan menggunakan amplikon yang lebih pendek dibandingkan dengan yang sering digunakan sebelumnya, dikenal dengan istilah mini STR set. Mini STR ini pada sampel dalam kondisi degradasi DNA masih dapat diamplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) sehingga identifikasi forensik masih dapat dilakukan. Identifikasi forensik ini juga dapat dilakukan melalui pengurangan ukuran daerah hypervariable 1 (HV1) ataupun (HV2) displacement-loop (d-loop) DNA mitokondria sebagai amplikonnya.
Paparan suhu panas merupakan salah satu faktor kerusakan DNA. Diawali dengan kerusakan anatomi tubuh manusia. Pada jasad manusia akan terkremasi sempurna pada suhu sekitar 6800C. Sedangkan jasad manusia yang terbakar hingga menjadi abu pada kisaran suhu 8000C-10000C. Pada proses kremasi suhu kisaran 8000C-12000C.
Penggunaan mini primer merupakan alternatif sebagai pengganti primer standar dalam kondisi DNA mengalami degradasi, dimana dengan penggunaan primer standar pada kondisi tersebut, tingkat keberhasilannya rendah. Mini primer merupakan redisain primer yakni mengurangi amplicon size dengan cara menggeser posisi primer sedekat mungkin dengan daerah perulangan. Mini primer merupakan pilihan alternatif yang lebih menarik untuk keperluan analisis forensik pada DNA yang terdegradasi dibandingkan dengan analisis forensik dengan menggunakan mtDNA. Keberhasilan deteksi lokus tersebut ditunjang oleh adanya perbedaan amplicon product, kandungan GC atau ikatan guanin-sitosin pada masing-masing lokus. Kandungan GC memiliki tingkat kestabilan yang tinggi terhadap denaturasi dibandingkan dengan ikatan antara adenin dan timin.
Hasil perhitungan rasio kandungan GC mempunyai nilai yang bermakna. Dari lokus-lokus yang yang diteliti, rasio GC content dalam primer adalah sebagai berikut lokus CSF1PO : 42.6%, FGA :35.7%, D21S11 : 34.1%. Disamping itu, adanya deretan adenin (consecutive adenine) merupakan target potensial untuk kerusakan DNA yang disebabkan paparan suhu panas. Adenin merupakan basa yang paling mudah teroksidasi.
Penulis : Dr.dr.Ahmad Yudianto, SpFM[K], SH, M.Kes
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di :
https://www.hindawi.com/journals/acp/
Ahmad Yudianto, Fery Setiawan, [2020], The Effectiveness of Mini Primer STR CODIS in DNA Degradation as the Effect of High-Temperature Exposure.
Volume 2020, Article ID 2417693, 6 pages