Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang diperoleh sejak lahir di mana gejala awalnya cukup sulit dideteksi. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) terdapat 38.000 anak lahir dengan gangguan pendengaran tiap tahunnya. Prevalensi tuli di Indonesia sebesar 4,2% di mana terdapat 0,1% tuli kongenital untuk tiap angka kelahiran hidup. Untuk mengetahui adanya tuli kongenital diperlukan pemeriksaan fungsi pendengaran menggunakan alat baku standar, yaitu Otoacoustic Emisssion (OAE) dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR) sebagai alat skrining serta Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) sebagai alat pemeriksaan diagnostik. Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) merekomendasikan deteksi tuli kongenital dilakukan sedini mungkin, yaitu saat bayi sebelum usia 1 bulan, pengulangan tes bisa dilakukan sebelum usia 3 bulan, serta intervensi diberikan sebelum menginjak usia 6 bulan agar gangguan kognitif, motorik, dan berbicara dapat diminimalisir.
Ada berbagai faktor risiko yang dapat menyebabkan tuli kongenital, yaitu faktor prenatal, perinatal, dan postnatal. Faktor prenatal adalah faktor yang terjadi sebelum bayi lahir, seperti riwayat keluarga yang mengalami tuli sejak lahir, infeksi Toxoplasma, Other agents, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex (TORCH) yang ditransmisikan dari ibu ke bayi, preeklampsia, dan diabetes gestasional. Faktor perinatal adalah faktor yang terjadi semasa kelahiran, yaitu prematuritas, bayi berat lahir rendah (BBLR), asfiksia, serta hiperbilirubinemia. Sedangkan faktor postnatal adalah faktor yang terjadi setelah bayi lahir, antara lain pemakaian ventilator mekanik dan kejang demam. Semua faktor risiko tersebut memengaruhi pembentukan struktur telinga dalam ataupun saraf pendengaran sehingga memicu terjadinya tuli kongenital.
Penelitian sebelumnya di tahun 2011-2013 diperoleh 68% bayi dan anak mengalami tuli kongenital di mana sebagian besar memiliki derajat sangat berat. Sayangnya sebagian besar faktor risiko tuli kongenital tersebut tidak diketahui. Untuk itu, Fransiska Fortunata Tanuwijaya bersama Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp. THT-KL(K), FICS, FISCM, Subur Prajitno, dr., M.S. AKK, FISPH, FISCM, dan Dr. Risa Etika, dr., Sp.A(K) melakukan penelitian terhadap 439 bayi di Poli Audiologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2014-2018. Hasil penelitian tersebut menunjukkan angka kejadian tuli kongenital masih cukup tinggi, yakni sebanyak 34,4% bayi. Adapun faktor prenatal, perinatal, dan postnatal terbanyak dalam penelitian tersebut berturut-turut adalah infeksi TORCH, BBLR, serta kejang demam.
Dari berbagai faktor risiko tersebut, asfiksia merupakan faktor risiko yang berhubungan secara signifikan dengan tuli kongenital. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Primadewi et al. (2014) di mana bayi dengan asfiksia mengalami kekurangan oksigen yang berat sehingga menimbulkan kerusakan struktur dari sel-sel rambut telinga di dalam koklea. Adanya kerusakan struktur tersebut menyebabkan penurunan kinerja sel-sel rambut telinga sehingga terjadi gangguan pendengaran. Penelitian Cristobal dan Oghalai (2008) menyatakan bahwa bayi dengan asfiksia 21 kali lebih berisiko mengalami gangguan pada sel rambut koklea. Tidak hanya itu, dalam penelitian yang sama ditemukan adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan menggunakan OAE dan AABR di mana hasil refer lebih banyak diperoleh pada pemeriksaan dengan OAE. Dalam penelitian Nazir et al. (2016) menunjukkan OAE memiliki keunggulan waktu pemeriksaan yang lebih cepat namun kurang spesifik dan sensitif bila dipakai sendirian, sedangkan AABR memiliki waktu pemeriksaan yang lebih lama namun memilik tingkat kegagalan yang lebih rendah, sehingga pada bayi berisiko tinggi disarankan untuk melakukan deteksi tuli kongenital menggunakan OAE yang dikombinasikan dengan AABR.
Melihat hasil penelitian tersebut, tuli kongenital tentu menjadi perhatian karena jika tidak segera dideteksi dan diberi penanganan tentu membawa dampak besar bagi masa depan sang anak. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk diberikan edukasi mengenai faktor risiko mengenai tuli kongenital serta tanda-tanda pendengaran yang normal pada bayi. Selain itu, tenaga kesehatan perlu melakukan deteksi faktor prenatal, perinatal, dan postnatal pada ibu hamil sehingga bayi yang berisiko tinggi dapat dilakukan skrining tuli kongenital segera setelah lahir. Dengan meningkatkan kesadaran akan faktor risiko serta kemudahan akses ke layanan kesehatan primer diharapkan dapat membantu mendeteksi tuli kongenital lebih dini serta mengurangi efek samping jangka panjang.
Penulis: Nyilo Purnami
Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini,