UNAIR NEWS – Program vaksin Covid-19 yang baru saja dilaksanakan di Indonesia menjadi permasalahan baru yang sering diperbincangkan masyarakat. Muncul gerakan anti vaksin ditengah-tengah masyarakat dimana gerakan tersebut dibuat oleh mereka yang menyatakan menolak untuk melakukan vaksin.
Dr. M. Atoillah Isfandiari, dr. M.Kes., pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan jika gerakan anti vaksin bukanlah sesuatu hal yang baru. Hal tersebut dikarenakan gerakan anti vaksin telah muncul saat pertama kali vaksin berhasil ditemukan pada abad ke-18.
“Jadi sebenarnya gerakan anti vaksin sudah muncul saat Edward Jenner pertama kali menemukan vaksin di dunia pada abad ke-18, dimana saat itu pihak yang menentang adalah sebagian agamawan,” ceritanya pada Rabu (13/01/21).
Lebih lanjut, Ato sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa gerakan anti vaksin akan selalu ada dalam kalangan masyarakat. Penyebabnya, sambung Ato, karena setiap manusia tentu memiliki pengetahuan, tingkat pemahaman, maupun sudut pandang yang berbeda-beda.
“Pertama, kita perlu berpijak pada satu persepsi terlebih dahulu. Apakah semua masyarakat sepakat bahwa pandemi Covid-19 ini harus segera diakhiri atau tidak, itu dulu,” ungkap Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) tersebut.
Ketika masyarakat telah sepakat untuk segera mengakhiri pandemi, tambah Ato, maka terdapat beberapa alternatif yang secara ilmiah dapat dilakukan. Dia mengatakan, apabila masyarakat melakukan 3M secara kompak dan masif, maka hal tersebut sudah cukup untuk menghentikan pandemi.
“Masalahnya masih banyak masyarakat yang tidak mau melakukan 3M. Tentu, hal tersebut menjadi ancaman bagi orang lain untuk tertular Covid-19, sehingga perlu adanya upaya untuk mendukung 3M dengan memberikan kekebalan,” jelasnya.
Upaya memberikan kekebalan, lanjut Ato, juga perlu dilakukan secara kompak. Karena pada dasarnya terdapat perhitungan secara matematika terkait berapa orang yang harus dikebalkan agar suatu komunitas dapat terlindungi atau yang biasa dikenal dengan istilah herd immunity.
Dengan adanya gerakan anti vaksin, menurutnya, dapat mengurangi jumlah orang yang berhasil dikebalkan sehingga berdampak pada kegagalan upaya pengebalan masyarakat.
“Sebenarnya boleh seseorang itu menolak melakukan vaksin, selama jumlahnya kurang dari jumlah maksimal orang yang tidak tervaksin,” tambahnya.
Pada akhir, Ato menghimbau masyarakat agar tidak mengajak orang lain untuk turut menolak melakukan vaksinasi. Dia mengungkapkan bahwa kampanye anti vaksin adalah kegiatan yang tidak seharusnya dilakukan.
“Secara individu, seseorang berhak menolak tetapi yang terpenting jangan sampai seseorang itu juga mengajak orang lain untuk menolak vaksin karena itu dapat membahayakan kepentingan umum,” pesannya. (*)
Penulis: Dita Aulia Rahma
Editor: Khefti Al Mawalia