Tingginya kebutuhan konsumsi ikan di Indonesia menyebabkan permintaan pada sektor perikanan juga meningkat. Pemenuhan permintaan ikan dipenuhi melalui kegiatan penangkapan dan budidaya ikan. Kegiatan penangkapan maupun budidaya ikan sendiri tidak terlepas dari masalah pernyakit yang disebabkan karena interaksi yang tidak seimbang antara organisme patogen, inang (ikan) dan faktor lingkungan. Parasit merupakan salah satu patogen penyebab penyakit infeksius pada ikan.
Infeksi parasit yang berat dapat memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri, jamur maupun virus. Terjadinya infeksi sekunder diawali dengan timbulnya luka pada permukaan tubuh ikan karena infeksi parasit yang menjadi jalan masuk bagi patogen lain untuk menginfeksi. Tingkat infeksi parasit yang tinggi dapat menyebabkan kematian massal pada ikan sehingga pembudidaya dapat mengalami kerugian yang cukup besar. Kerugian lain yang ditimbulkan oleh infeksi parasit pada ikan yang dibudidayakan yaitu pertumbuhan ikan terhambat, waktu pemeliharaan yang lebih lama, konversi pakan yang tinggi, kematian massal, dan produktivitas menurun. Infeksi parasit pada hasil ikan tangkapan dapat menyebabkan bentuk tubuh ikan menjadi abnormal dan pengurangan berat ikan sehingga terjadi penolakan konsumen dan berdampak pada penurunan tingkat konsumsi ikan dan kualitas ikan.
Keberadaan parasit pada ikan konsumsi kemungkinan dapat bersifat zoonosis pada manusia. Salah satu parasit yang bersifat zoonosis pada manusia adalah Anisakis. Ikan yang belum masak atau setengah masak yang terinfeksi Anisakis bila dikonsumsi manusia menyebabkan reaksi alergi, gangguan saluran pencernaan (diare), nyeri pada perut dan muntah-muntah. Pemeriksaan parasit pada komoditas perikanan ditujukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya patogen khususnya parasit ikan agar tidak menyebabkan penyakit pada manusia yang mengkonsumsi komoditas perikanan sebelum dilalulintaskan di Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Semarang.
Pemeriksaan sampel ikan yang terdiri dari ikan koi (Cyprinus carpio), ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan lele (Clarias sp.), ikan Golden Black Molly (Poecilia sp.) dan ikan makarel (Scomber scombrus) yang berasal dari beberapa lokasi budidaya di Kota Semarang dan pabrik pengolahan ikan di Kota Semarang. Metode pemeriksaan parasit menggunakan metode natif yakni pengamatan secara langsung baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop sedangkan pengamatan secara mikroskopis dilakukan pengamatan langsung di bawah mikroskop. Parasit yang ditemukan dilakukan karakterisasi secara morfologi berdasarkan kunci identifikasi.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa terdapat 5 genus ektoparasit dan 1 genus endoparasit dari golongan ikan hias maupun ikan konsumsi. Ektoparasit yang ditemukan yaitu Trichodina, Chilodonella, Gyrodactylus, Dactylogyrus, dan Argulus, sedangkan endoparasit yang ditemukan yaitu Anisakis. Hasil pengamatan Trichodina yang ditemukan memiliki ciri-ciri berbentuk lingkaran, tubuhnya dikelilingi silia, bagian tengah terdapat dentikel dan terdapat membran border. Trichodina merupakan jenis ektoparasit dari gologan ciliata yang sering menginfestasi jenis ikan air tawar. Gejala klinis dari hasil pengamatan ikan yang terinfestasi Trichodina yaitu sirip ekor, sirip dorsal, sirip ventral dan sirip anal geripis, permukaan tubuh terdapat lendir yang berlebih, ikan selalu berenang ke permukaan, dan warna tubuh ikan kusam. Ektoparasit Chilodonella yang ditemukan berbentuk oval, berwarna hijau transparan, dan bergerak menggunakan silia. Ikan yang terinfestasi parasit ini berwarna pucat, memproduksi lendir berlebih, semua sirip geripis, terdapat koinfeksi jamur pada sirip dorsal dan sirip ventral.
Berdasarkan pengamatan Gyrodactylus berbentuk pipih memanjang, memiliki 2 lobus (tonjolan) pada anterior tubuh dan bagian posteriornya terdapat opisthaptor. Bagian opisthaptor memiliki sepasang anchor dan bagian tepinya dikelilingi marginal hook (kait kecil). Gejala klinis dari ikan yang terinfestasi Gyrodactylus yaitu sirip ekor dan sirip dorsal geripis, permukaan tubuh terdapat lendir yang berlebih, dan ikan selalu berenang ke permukaan. Ciri-ciri Dactylogyrus yang ditemukan adalah memiliki 4 lobus pada anterior tubuhnya dan 4 bintik mata, bagian posterior terdapat opisthaptor yang di dalamnya terdapat sepasang anchor dan marginal hook (pengait kecil). Gejala klinis dari ikan yang terinfestasi Dactylogyrus yaitu ikan selalu berenang ke permukaan, produksi lendir berlebih pada insang dan permukaan tubuh.
Berdasarkan hasil pengamatan ciri-ciri Argulus yang ditemukan adalah tubuh transparan, memiliki sepasang bintik mata, sepasang antena 1, maxilla 1, maxilla 2, seminal receptacle, respiratory area, dan 4 pasang kaki. Ikan yang terinfestasi Argulus mengalami pendarahan pada sirip ventral dan sirip ekor, produksi lendir berlebih, dan pergerakan renang ikan tidak normal seperti menggesek-gesekkan tubuhnya. Berdasarkan hasil pengamatan, Anisakis berbentuk memanjang, berwarna putih, tubuhnya terbagi atas anterior dan posterior. Ciri khas dari Anisakis ialah adanya mukron yang bentuknya seperti duri terletak pada tubuh bagian posterior. Gejala ikan yang terinfeksi oleh Anisakis yaitu terjadinya penurunan berat badan, pembengkakan di dekat saluran pencernaan, adanya gangguan pada lambung ikan dan berkurangnya penyerapan makanan pada usus ikan. Apabila ikan yang terinfeksi Anisakis termakan oleh manusia akan menyebabkan reaksi alergi, gangguan saluran pencernaan seperti diare, nyeri pada perut dan muntah-muntah, hal tersebut dikarenakan Anisakis bersifat zoonosis terhadap manusia.
Berdasarkan hasil identifikasi parasit yang telah dilakukan di BKIPM Semarang dapat diketahui bila parasit dibagi menjadi HPI (Hama Penyakit Ikan) dan HPIK (Hama Penyakit Ikan Karantina) menurut KEPMEN-KP No. 91 tahun 2018. Jenis parasit yang ditemukan pada komoditas ikan yang dilalulintaskan dari BKIPM Semarang tidak termasuk dalam golongan HPIK. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 11/PERMEN-KP/2019 pembebasan dilakukan apabila media pembawa tidak tertular HPI/HPIK yang disyaratkan serta aman untuk dikonsumsi manusia maka media pembawa dapat dilalulintaskan.
Penulis: Mohammad Faizal Ulkhaq
Informasi detail riset ini dapat dilihat pada tulisan di :