Maloklusi adalah suatu kondisi abnormal pertumbuhan dentokraniofasial yang mempengaruhi posisi gigi pada lengkung gigi yang dapat mengganggu estetika, fungsi mengunyah, menelan, bicara, dan estetika serta keselarasan wajah. Prevalensi maloklusi di Indonesia berkisar cukup tinggi dari 80%. Maloklusi dapat terjadi karena kelainan pada gigi, tulang rahang atas dan bawah (skeletal), kombinasi gigi dan tulang rahang (dentoskeletal) dan kelainan jaringan lunak (otot pengunyahan). Maloklusi sering terjadi dan terkadang sulit untuk mengidentifikasi etiologi karena dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan gigi dan rahang, antara lain faktor genetik keturunan dan faktor lingkungan.
Maloklusi kelas I menurut klasifikasi Angle memiliki hubungan oklusi molar yang disebut neutroklusi yang ditunjukkan oleh tonjol mesiobuccal molar pertama permanen rahang atas pada alur bukal gigi molar pertama permanen rahang atas. Gigi taring permanen rahang atas terletak di antara gigi kaninus permanen rahang bawah dan gigi premolar satu permanen rahang bawah. Maloklusi kelas I dianggap sebagai oklusi normal karena dari segi estetika dan fungsinya dalam batas normal. Pada maloklusi kelas I dapat disertai kelainan seperti gigi berjejal, gigitan terbuka, gigi kaninus diluar lengkung, gigitan silang anterior, atau gigitan silang posterior. Hubungan skeletal pada maloklusi Klas I sagital umumnya adalah Kelas I. Pada arah vertikal dan transversal, pola skeletal pada maloklusi Klas I biasanya normal.
Maloklusi klas II menurut klasifikasi Angle ditandai dengan adanya hubungan molar dengan tonjol distobukal molar permanen pertama rahang atas pada oklusi di alur bukal molar permanen pertama rahang bawah. Maloklusi klas II dapat ditemukan dengan berbagai variasi kondisi morfologi wajah yang disebabkan oleh mandibula yang kecil atau dapat juga normal, tetapi terkadang dapat ditemukan pada kondisi mandibula yang besar. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada maloklusi kelas II berbagai gejala dengan perbedaan dentoalveolar, skeletal atau neuromuskuler dapat ditemukan.
Otot merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi terjadinya maloklusi. Otot memiliki fungsi untuk menutup mulut yaitu otot masseter, otot temporal, dan otot pterigoid medialis. Otot yang memiliki fungsi untuk membuka mulut yaitu otot pterigoid lateral. Beberapa otot mempengaruhi oklusi gigi, yaitu otot lidah; otot masseter dan otot buccinator; dan otot orbicularis oris.
Perkembangan normal pada struktur dentofacial bergantung pada fungsi normal dari otot-otot di sekitar mulut. Ketidakseimbangan antara otot orofasial akan mempengaruhi perkembangan struktur dentofasial. Gangguan otot mastikasi dapat dilihat dari ada tidaknya aktivitas otot. Aktivitas otot adalah aktivitas listrik otot yang diproduksi dan dipelihara oleh otot secara terus menerus. Aktivitas otot dapat dideteksi dengan menggunakan instrumen yang disebut elektromiografi permukaan (sEMG).
SEMG merupakan instrumen yang sering digunakan untuk mengevaluasi fungsi dan efisiensi otot dan saraf dengan merekam aktivitas listrik potensial yang dihasilkan oleh otot rangka dengan menggunakan elektroda yang dihubungkan ke peralatan untuk memperkuat sinyal. SEMG mengukur potensial listrik dengan menempatkan dua elektroda di otot atau area di dekat otot. Potensial listrik dihasilkan oleh depolarisasi membran serat otot dan mewakili analog listrik yang dapat diukur dari kontraksi unit motorik individu. Bentuk dan amplitudo sinyal yang direkam tergantung pada karakteristik depolarisasi asli, jarak serat aktif dari lokasi elektroda, dan karakteristik impedansi jaringan yang mengintervensi. Dalam diagnosis maloklusi perlu diperhatikan etiologi dari maloklusi, salah satunya kelainan pada aktivitas otot pengunyahan. Aktivitas otot pengunyahan dapat dipengaruhi oleh faktor keturunan seperti ras.
Maloklusi kelas I dan kelas I dapat merubah aktivitas otot pengunyahan atau bolak-balik. Hal ini perlu dievaluasi dan dikoreksi karena seringkali menimbulkan kesalahan diagnosa dan kesalahan dalam menentukan rencana pengobatan. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang evaluasi aktivitas otot pengunyahan pada penderita maloklusi Klas I dan Klas II pada penderita etnis Jawa. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perbedaan aktivitas otot pengunyahan pada penderita Maloklusi Klas I dan Klas II pada penderita etnis Jawa yang dideteksi dengan elektromiografi permukaan (sEMG).
Hasil klinis rata-rata aktivitas otot temporal pada kelompok maloklusi klas II menunjukkan hasil yang cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok maloklusi klas I. Hasil uji Mann-Whitney menemukan bahwa hanya kekuatan otot temporalis sisi kanan antara maloklusi Klas I dan Klas II yang memiliki perbedaan bermakna (p <0,05), sedangkan untuk uji sEMG otot lainnya tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p> 0,05).
Kesimpulan penelitian ini adalah aktivitas otot temporalis, masseter, dan suprahyoid yang diperiksa dengan sEMG tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada maloklusi Kelas I dan II pada pasien etnis Jawa tetapi aktivitas otot masseter memiliki peran besar dalam terjadinya maloklusi kelas II. Evaluasi aktivitas otot pengunyahan yang berkaitan dengan maloklusi dapat membantu ortodontis untuk menentukan rencana perawatan untuk hasil perawatan yang lebih baik.
Penulis: I Gusti Aju Wahju Ardani
Tulisan lengkap dapat diakses pada: