Manusia diciptakan Tuhan dengan sangat indah dan penuh kemuliaan. Manusia dalam menjalankan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari memerlukan keoptimalan fungsi dari seluruh organ tubuhnya. Salah satu organ tubuh yang sangat penting adalah otak. Otak kita terdiri dari trilyunan sel saraf dengan pembagian area fungsi yang sangat kompleks. Fungsi otak dikelompokkan menurut kegunaan dalam kehidupan sehari-hari menjadi fungsi berpikir dan fungsi kognitif, perasaan, dorongan, pergerakan atau psikomotor dan sensoris. Dari semua itu, fungsi kognitif adalah yang paling dinamis dapat digerakkan oleh diri manusia. Sangat rumit dan terhubung dengan area-area lain di otak. Fungsi kognitif yang optimal ke arah yang baik merupakan faktor proteksi kesehatan mental. Fungsi kognitif ini dapat terganggu pada beberapa gangguan kejiwaan.
Gangguan depresi merupakan gangguan kejiwaan yang umum, dapat dialami oleh siapa saja. Gangguan fungsi kognitif pada gangguan depresi diketahui sejak beberapa dekade lalu. Gangguan fungsi kognitif bahkan diketahui tetap ada setelah gangguan depresi remisi. Kondisi ini menjadi sangat merugikan pada pasien gangguan, karena selain mengganggu fungsi psikososial dalam kegiatan sehari-hari pasien, juga menurunkan kualitas hidup dan juga meningkatkan risiko kekambuhan depresi. Keadaan ini sering kurang menjadi perhatian dalam praktek klinis sehari-hari.
Gangguan Depresi dialami oleh 8-12% populasi dunia di berbagai belahan negara, bahkan prevalensi depresi pada suatu masa dari kehidupan dari populasi dewasa sebesar 15-25%. Prevalensi depresi di Surabaya pada remaja sebesar 3,9%, pada dewasa 6,2% dan geriatri 7,7%. Pada populasi berisiko tinggi cukup besar seperti pengguna Napza sebesar 12,5%, pekerja seks sebesar 12,8% dan individu di tahanan sebesar 18,9% (Maramis MM et al., 2020).
Dampak gangguan depresi adalah angka perceraian lebih tinggi dibandingkan pasien tidak depresi (Gotlib et al., 2010), terjadi psikopatologi pada anak dari orangtua penderita depresi (Ross et al., 2010), meningkatkan komplikasi penyakit kronis (Krishnan et al., 2010), menyebabkan disabilitas fungsional sebesar 28% (Schmitz et al., 2007) dan walaupun gangguan depresi telah remisi kualitas hidup tetap rendah (Angermeyer et al., 2002). Keadaan ini sangat mungkin terjadi karena individu depresi mengalami gangguan kognisi. Fungsi kognitif penting untuk kemampuan individu melakukan komunikasi interpersonal dan intrapersonal (O’neil et al., 2003), untuk berfungsi dan bekerja serta mengatasi keadaan depresi (Austin et al., 2001).
Ketidakmampuan menyadari keadaan depresinya (Dunlop et al., 2005), karena gangguan fungsi kognitif menyebabkan angka tidak berobat sebesar 36% (Steenhuysen, 2010), di Surabaya yang tidak berobat sebesar 83% (Maramis, 2015), respons perbaikan setelah 6 minggu pengobatan hanya sebesar 62,5% dan angka remisi sebesar 50% (Trivedi et al., 2006), angka rekurensi yang lebih dari 75% mengindikasikan bahwa masih ada gejala yang belum teratasi dan ada faktor yang menghampat penyembuhan. Salah satu factor yang diperkirakan adalah gangguan fungsi kognitif. Fungsi kognitif diperlukan untuk mengatasi perasaan depresi dan mengolah informasi serta mencegah risiko berulang kembali (Gotlib et al., 2010). Fungsi kognitif sangat penting dalam kehidupan sehari-hari untuk mengolah persepsi, memproses informasi dari luar dan dalam diri seseorang, sehingga individu dapat menghadapi peristiwa kehidupan, menjadi nyaman dan dapat berfungsi sosial dan pekerjaan.
Gangguan kognitif pada depresi dapat berupa disfungsi dalam pembentukan kognitif (distorsi kognitif atau bias kognitif) (Teasdale, 1983; Beck, 2008; Clark et al., 2009; Gotlib et al., 2010) dan fungsi kognitif tidak fleksibel (Deveney et al., 2006), tidak mampu mengolah informasi netral, menahan dan menghapus informasi yang tidak relevan yang dapat berdasar pada kelambanan dan kurang perhatian (Gohier et al., 2009). Secara umum, pada pemeriksaan neuro-cognitive test (NCT), didapatkan gangguan pada berbagai domain fungsi kognitif (Elliott, 2002). Fungsi kognitif yang terganggu pada fungsi atensi, memori, fungsi eksekutif, psikomotor (Papakostas, 2013), kecepatan memproses informasi (McDermott et al., 2009). Pemrosesan informasi visual dan working memory spasial serta sustained attention, kemungkinan sebagai petanda yang peka bagi gangguan depresi mayor (Weiland-Fiedler et al., 2004). Jadi, terjadi perubahan kualitatif dan kuantitatif dalam pemrosesan informasi pada individu depresi (Weingartner et al., 1981).
Terdapat perdebatan tentang apakah gangguan kognitif pada gangguan depresi sudah terjadi sebelum gejala depresi terjadi. Banyak bukti menunjukkan bahwa pasien depresi mengalami gangguan kognitif bahkan setelah gangguan depresi remisi, hendaya kognitif masih ada. Ini memberi pemikiran bahwa gangguan fungsi kognitif mungkin merupakan inti dari gangguan depresi dan juga mengindikasikan bahwa gangguan kognitif pada depresi mungkin terpisah dari gejala mood depresi.
Penelitian yang kami lakukan pada hewan tikus putih membuktikan bahwa gangguan kognitif khususnya memori kerja dan fleksibilitas kognitif terjadi sebelum gejala depresi terjadi. Hal ini dimungkinkan karena terjadi hiperarousal pada perilaku mirip kecemasan akibat stimulasi. Temuan ini memberikan kesadaran kita bahwa gangguan fungsi kognitif pada manusia kemungkinan juga sudah terjadi sebelum gangguan depresi terjadi. Oleh karena itu sebaiknya menjadi perhatian kita semua agar tidak berkembang menjadi berbagai gangguan kejiwaan, khususnya depresi. Walaupun demikian, penelitian ini masih memerlukan pengamatan longitudinal pada manusia untuk melihat perubahan fungsi kognitif sesungguhnya yang terjadi dari sebelum muncul gejala depresi hingga terjadi depresi, walaupun pelaksanaan penelitian dengan design ini cukup menantang dan sulit.
Fungsi kognitif sangat penting dalam menjalani kehidupan manusia. Fungsi ini diperlukan manusia dalam kerja yang optimal agar dapat menjalankan pemecahan masalah kehidupan dan berpikir secara fleksibel dalam pengambilan keputusan terbaik. Klinisi kadang terlupakan memperhatikan gangguan kognitif ini. Gangguan kognitif dapat ditemukan sebelum seseorang mengalami gangguan depresi, dan gangguan kejiwaan secara umum. Oleh karena itu, klinisi sebaiknya melakukan skrining fungsi kognitif pada setiap pasien sehingga dapat dilakukan penanganan sedini mungkin, sehingga dapat dicegah berlanjutnya gangguan ke arah depresi.
Penulis: Dr. Margarita M. Maramis, dr. SpKJ(K), FISCM.
Informasi dari survei dapat dibaca pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32712605/
Margarita M. Maramis, Marlina S. Mahajudin, Junaidi Khotib. Impaired Cognitive Flexibility and Working Memory Precedes Depression: A Rat Model to Study Depression. Neuropsychobiology. 2020 Jul 24;1-9. doi: 10.1159/000508682.