Banyak yang mengatakan bahwa menjadi mahasiswa dan berada di masa perkuliahan memiliki kehidupan yang stressful. Para mahasiswa tak hanya ditantang untuk hidup mandiri, namun juga harus menghadapi tantangan akademik di perkuliahan. Program studi kedokteran telah menjadi program studi pilihan terpopuler ketika memasuki bangku perkuliahan. Namun, program studi kedokteran dinilai lebih stressful dibanding program studi profesi lain.
Hans Selye dalam The Stress of Life tahun 1956 mendefinisikan stres sebagai “respon tidak spesifik tubuh terhadap rangsangan bahaya”. Sedangkan pada tahun 1967, Holmes dan Rahe mendefinisikan stres sebagai pengaturan (adjustment) atau penyesuaian diri (adaptation) yang dibutuhkan terhadap perubahan atau kejadian hidup yang besar. Di tahun sebelumnya, Lazarus mengembangkan dan menguji teori berjudul Transactional Theory of Stress and Coping (TTSC). Pada teori tersebut, stres dinyatakan tidak terjadi pada suatu kejadian (event) namun merupakan hasil transaksi antara seseorang dengan lingkungannya, sehingga fenomena stres merupakan serial fenomena yang subjektif, mencakup penilaian (appraisal) kognitif (ancaman, bahaya, atau tantangan), emosi stres, respon koping, dan reappraisal.
Stres merangsang hipofisis anterior di otak untuk merilis hormon adrenokortikotropik (ACTH). ACTH sendiri atau bersama-sama dengan hormon lain akan merangsang kelenjar adrenal untuk merilis hormon kortikoid, yakni mineralokortikoid dan glukokortikoid. Glukokortikoid utama dari tubuh manusia yakni kortisol akan menimbulkan berbagai dampak stres pada tubuh meliputi dampak metabolik, imunologi, kardiovaskular, afektif, kognitif, dan perilaku. Dampak stres dapat berupa depresi dan kecemasan. Depresi ditandai dengan suasana hati yang menurun, rasa kurang tenaga, kesedihan, insomnia, dan ketidakmampuan untuk menikmati hidup. Beberapa gejala yang berhubungan dengan kecemasan adalah kelelahan, rasa tidak pernah isirahat, rasa lekas marah, gangguan tidur, gangguan konsentrasi dan memori, serta meningkatnya tonus otot.
Penelitian ini melibatkan total 359 mahasiswa kedokteran Universitas Airlangga yang terdiri dari angkatan 2016, 2017, dan 2018. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale (DASS) yang memiliki 42 item pernyataan, dengan 14 item menunjukkan skala depresi, 14 item untuk skala kecemasan, dan 14 lainnya untuk skala stress. Hasilnya terdapat perbedaan bermakna pada umur dan suku di tiap angkatan, serta tidak terdapat perbedaan pada jenis kelamin, riwayat gangguan jiwa pribadi, riwayat gangguan jiwa keluarga, penggunaan rokok, alkohol atau adiksi obat, status perkawinan orang tua, dan urutan kelahiran.
Tidak terdapat perbedaan depresi, kecemasan, dan stres pada angkatan 2016, 2017, dan 2018. Prevalensi mahasiswa kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga angkatan 2016 yang mengalami depresi 26,3%, kecemasan 51,5%, dan stres 32,3%. Angkatan 2017 depresi 30,2%, kecemasan 60,4%, dan stres 37,5%. Sedangkan angkatan 2018 depresi 23,2%, kecemasan 54,3%, dan stres 30,5%. Bagi mahasiswa perguruan tinggi, ada 3 penyebab utama depresi, kecemasan, dan stres, yakni: performa akademik, tekanan untuk sukses, dan rencana pasca lulus. Sehingga kebanyakan yang terpapar depresi, kecemasan, dan stress adalah mahasiswa semester atas. Penelitian lain menunjukkan bahwa persepsi terhadap performa diri di akademik berasosiasi kuat dengan jumlah skor depresi, kecemasan, dan stres yang tinggi. Sebuah pendapat subjektif lain menyatakan bahwa beban akademik yang dibebankan kurikulum dan jadwal yang padat menjadi penyebab tingginya skor DASS pada mahasiswa kedokteran.
Meski beban akademik menjadi momok yang paling banyak dibicarakan, namun tentu ada banyak faktor lain yang berkaitan dengan depresi, kecemasan, dan stres mahasiswa. Depresi dinyatakan memiliki hubungan dengan mahasiswa yang tinggal di kos. Penelitian lain menambahkan bahwa aktivitas ekstrakurikuler berhubungan dengan kecemasan dan stres.
Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kecemasan dan stres, dengan perempuan cenderung lebih mengalami kecemasan dan stres. Perempuan lebih banyak mengalami kecemasan, depresi, dan stres dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan lebih menganggap hal-hal yang bersifat tantangan dan ancaman adalah suatu hal yang stressful. Penelitian lain juga menyatakan bahwa mahasiswi kedokteran cenderung lebih kompetitif, cenderung bekerja keras untuk mengamankan nilai tinggi di ujian, dan lebih peduli pada performa akademik mereka.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan hampir separuh mahasiswa kedokteran dalam penelitian ini terpapar kecemasan dan stres. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk memperdalam kemungkinan-kemungkinan dan mengidentifikasi penyebab depresi, kecemasan, dan stres mahasiswa kedokteran sehingga dapat dilakukan pencegahan dan tindakan suportif lainnya.
Penulis: Tasca Rizkina Maulida, Azimatul Karimah, Pudji Lestari, Maftuchah Rochmanti
Artikel lengkapnya dapat diakses melalui link berikut ini,
https://medicopublication.com/index.php/ijphrd/article/view/13241