Seperti yang telah dipublikasi di International Food Research Journal edisi Oktober tahun 2018, tepung buah Lindur atau Bruguiera gymnorrhiza flour (BGF) merupakan salah satu tepung yang berpotensi sebagai bahan baku biskuit karena kandungan karbohidrat yang tinggi, tepung buah Lindur memiliki kadar protein dan lemak yang rendah, serta tinggi tannin. Di penelitian tersebut disampaikan bahwasanya salah satu tantangan penggunaan tepung buah Lindur adalah nilai rendemanya yang rendah, sehingga penggunaanya harus sangat optimal. Artinya, dengan pengguaan yang sedikit, namun dapat berpengaruh terhadap karakteristik produk akhir yang mengandung tepung buah Lindur.
Rekomendasi penelitian Amin (2018), tepung buah Lindur harusnya tepat digunakan untuk biskuit atau flat bread karena kandungan proteinya yang rendah, Disamping itu, dengan warnanya yang cokelat maka tepung buah Lindur juga dapat dimanfaatkan sebagai pewarna makanan atau food colorant.
Selanjutnya Amin et al. (2020) melakukan penelitian lanjutan berdasarkan penelitian Amin (2018), yang mana studi tersebut difokuskan pada penggunaan tepung buah Lindur sebagai campuran tepung terigu rendah protein yang umumnya digunakan sebagai bahan baku biskuit. Campuran ini dinamakan sebagai tepung komposi (composite flour), tepung komposit dibuat dengan rasio tepung buah Lindur dan tepung terigu dari 10% sampai 90%, dimana hasil membuktikan bahwa secara umum perbedaan rasio tepung buah Lindur terhadap tepung terigu rendah protein menghasilkan tepung komposit dengan sifat fungsional dan rheologi yang berbeda, dimana semakin tinggi tepung buah lindur maka semakin tinggi water solubility index (WSI), artinya semakin banyak partikel yang dalam tepung komposit yang terlarut dalam air, misalnya pigmen dan golongan senyawa-senyawa fenol larut air seperti tannin. Dilain sisi, semakin tinggi tepung buah semakin rendah daya serap air, peak viscosity, through viscosity, breakdown viscosity, final viscosity dan setback viscosity.
Dalam ilmu rheologi peak viscosity menujukkan fragilitas dari granula pati yang mengembang, yaitu pada saat pertama kali mengembang sampai pecah karena adanya proses pengadukan. Viskositas trough adalah viskositas minimum selama periode holding pada suhu 95°C (Winarsa et al. 2013), nilai viskositas trough menunjukkan tingkat kestabilan pasta pati selama pemasakan. Viskositas breakdown atau penurunan viskositas selama proses pemanasan, dimana nilai viskositas breakdown dapat menunjukkan stabilitas pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil terhadap panas (Lestari et al. 2015). Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan merupakan pengukuran rekristalisasi dari pati tergelatinisasi selama pendinginan (Lestari et al. 2015).
Menurut Maulani et al. (2013) viskositas setback yang tinggi menunjukkan kecenderungan untuk lebih mudah mengalami retrogradasi. Menurut Syafutri (2015) bahwa viskositas akhir mengindikasikan kemampuan pati untuk membentuk gel setelah proses pemanasan dan pendinginan. Menurut Amin et al. (2020) adanya perbedaan viskositas dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin. Pada dasarnya tepung buah Lindur memiliki kandungan amilosa yeng lebih tinggi dibandingkan pada tepung terigu rendah protein.
Penulis: Muhamad Nur Ghoyatul Amin
Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini:
https://www.myfoodresearch.com/uploads/8/4/8/5/84855864/_21__fr-2020-356_amin.pdf