Congenital Rubella Syndrome (CRS) adalah suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan infeksi virus rubella. Infeksi ini terjadi pada bayi dikarenakan terinfeksi selama kehamilan ibu. Infeksi ini dapat menginfeksi janin dikarenakan dapat menembus sawar plasenta dan akhirnya menginfeksi janin. Bayi dengan CRS umumnya memiliki satu atau lebih gejala berupa gangguan pendengaran, kelainan mata, kelainan jantung, retardasi mental, dan kecacatan lainnya. Namun, dari semua gejala yang ada, Gangguan pendengaran adalah Gangguan yang paling sering ditemui pada CRS.
Program pengawasan untuk mendeteksi CRS pada bayi terus digalakkan. Mengingat, kecacatan yang dialami oleh janin tentunya berpengaruh dalam kualitas hidup bayi maupun kualitas hidup orang disekitarnya. Selain itu, bayi dengan CRS masih dapat menularkan infeksi tersebut ke orang di sekitarnya. Tentunya, akan menjadi masalah baru jika bayi tersebut menularkan ke banyak orang, apalagi jika tertular ibu hamil. Maka kasus CRS memiliki potensi untuk terus terjadi dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Oleh karenanya, program pengawasan untuk mendeteksi CRS sangatlah penting. Selain itu, dengan adanya program tersebut maka bayi dengan CRS dapat segera dilakukan perawatan yang sesuai dan diusahakan kualitas hidup bayi dapat meningkat kedepannya.
Program pengawasan tentunya meliputi data diri bayi dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Dari data tersebut kita dapat mengetahui kelainan apa saja yang terjadi. Hal ini membuat Dionisia Vidya Paramita, dr. dan Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL(K), FICS, FISCM, dari Departemen Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher RSUD dr. Soetomo tertarik melakukan penelitian dalam melihat profil pasien Congenital Rubella Syndrome di RSUD dr. Soetomo. Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan profil pasien CRS tahun 2015 di Audiologi Rawat Jalan RSU Dr. Soetomo dan menjelaskan data CRS yang dilakukan pengawasan untuk periode dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun 2015. Data berasal dari Bayi yang datang ke Audiologi Rawat Jalan RSUD dr. Soetomo dan telah melakukan tes pendengaran dan pemeriksaan serologis.
Setelah penelitian dilakukan, ditemukan bahwa sebanyak 65 bayi telah dilakukan program, pengawasan. Jumlah tertinggi bayi berada di kelompok usia 1 – <3 tahun (21 pasien, 31,2%). Jenis kelamin bayi didominasi oleh laki-laki, Sebanyak 36 pasien (55,4%). Selain itu, 45 bayi (69,2%) diduga menderita CRS dengan 2 bayi (3,1%) diklasifikasikan sebagai CRS yang dikonfirmasi melalui laboratorium. Kelainan pendengaran pada laki-laki ditemukan pada 36 bayi (55,4%) dan didiagnosis memiliki Gangguan pendengaran pada kedua telinga (bilateral) sebanyak 23 bayi (35,4%) dan Gangguan pendengaran pada salah satu sisi telinga (unilateral) sebanyak 13 bayi (20%). Dari studi sebelumnya, gangguan pendengaran bilateral terjadi lebih sering daripada unilateral. Penelitian di London menyatakan Gangguan pendengaran bilateral itu gangguan pendengaran pada bayi CRS adalah 61%, lebih sering daripada gangguan pendengaran unilateral. Penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa gangguan pendengaran adalah yang gejala yang paling sering, dilaporkan pada 73% pada bayi diduga CRS. Hasil berbeda pun diperoleh dalam penelitian di Myanmar, dimana Kelainan jantung bawaan adalah gejala yang sering terjadi (72%). Hal ini bisa jadi dijelaskan oleh keterbatasan dalam mendiagnosis gangguan pendengaran pada bayi sebagai gangguan pendengaran dapat muncul dan diketahui terlambat.
Oleh karenanya, sistem pengawasan pada CRS perlu terus dilakukan. Terutama pada bayi CRS dengan gangguan pendengaran seringkali terdeteksi terlambat. Padahal kemampuan pendengaran dapat menstimulasi otak bayi agar dapat memiliki perkembangan yang baik. Selain itu, sistem pengawasan yang melibatkan semua rumah sakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan lainnya perlu dibentuk untuk menentukan beban penyakit akibat CRS. Sumber daya diperlukan untuk membangun sistem pengawasan CRS begitu besar sehingga saat ini hanya dilakukan di beberapa rumah sakit. Hasil dari program pengawasan dapat dipertimbangkan untuk pelaksanaan vaksinasi rubella program pada tahun berikutnya agar biaya dapat lebih diperhitungkan dan pendeteksian dapat dilakukan sejak awal.
Penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan pendengaran yang paling umum terjadi sebagian besar adalah gangguan pendengaran tipe pendengaran bilateral. Pengawasan masih perlu dilakukan terus menangkap lebih banyak kasus CRS di masyarakat dan perlu dilakukan pengawasan yang efektif untuk mendeteksi gangguan pendengaran sejak dini.
Penulis: Dr. Nyilo Purnami, dr., SP.THT-KL(K), FICS, FISCM
Detail tulisan ini dapat dilihat di:
Purnami, N., & Paramita, D. V. (2020). Profile of congenital rubella syndrome in Soetomo General Hospital Surabaya, Indonesia. Infectious Disease Reports, 12(s1).
https://doi.org/10.4081/idr.2020.8718