Cidera pada arteri aksila setelah trauma bahu sangat jarang terjadi. Lesi traumatis pada arteri aksila sendiri terbatas pada 2,9-9% dari cidera arteri mayor. Cidera pada daerah bahu adalah komplikasi paling umum dari sendi bahu yang terkilir, fraktur humerus, cidera pleksus brachialis, dan juga cidera vaskular. Pseudoaneurisma merupakan hematoma berkapsul yang memiliki komunikasi dengan lumen pembuluh darah yang pecah atau mengalami ruptur. Pseudoaneurisma traumatis pada arteri aksila adalah bagian dari sekuel yang jarang terjadi akibat cidera yang terjadi pada daerah bahu.
Kami menyajikan laporan kasus yang jarang terjadi pada pasien laki-laki berusia 67 tahun yang dirawat di rumah sakit kami dengan benjolan di bahu kanan, yang tumbuh perlahan. Pasien melaporkan bahwa dia memiliki riwayat cidera jatuh dari pohon 10 tahun sebelum masuk rumah sakit. Setelah setahun cidera, pasien mulai mengeluhkan adanya benjolan dengan yang secara bertahap membesar di daerah ketiak kanan. Tidak ada riwayat defisit neurologis yang ditemukan. Pemeriksaan fisik kami menunjukkan massa yang tegas, konsistensi kistik, nonpulsatil dan terfiksasi dengan batas yang tidak jelas, sehingga kami mencurigai adanya tumor jaringan lunak primer.
Untuk mengevaluasi lebih baik pada tumor jaringan lunak yang dicurigai, kami melakukan pemeriksaan ultrasonografi diikuti dengan biopsi aspirasi jarum halus dengan panduan ultrasonografi. Ditemukan massa jaringan lunak yang besar dari bahu kanan dengan beberapa fokus hipoekoik kistik disertai deformitas tulang di sekitarnya. Temuan ini mengarah pada gambaran tumor jaringan lunak primer. Tidak ada pengisian vaskular abnormal yang signifikan ditemukan pada ultrasonografi doppler berwarna, ukuran massa terlalu besar mengakibatkan terbatasnya penetrasi frekuensi ultrasound kedalam lesi target.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) 1,5-T mengkonfirmasi adanya massa jaringan lunak dengan konsistensi campuran berupa kistik semipadat pada bahu kanan dengan kerusakan tulang humerus proksimal kanan disertai dislokasi sendi glenohumeral. Fokus perdarahan juga ditemukan yang ditandai dengan sinyal hyperintens pada T1-weighted (T1WI), dan rim hypointens di daerah peritumoral pada T2-weighted (T2WI). Di regio aksila juga terdapat lesi oval dengan dinding yang berlapis -lapis yang terdiri dari campuran sinyal hipointens dan hiperintens yang mengarahkan kepada gambaran pseudoaneurisma vaskular dengan hematoma yang besar dengan perdarahan yang bervariasi usianya.
Setelah pemberian kontras, lesi oval tersebut menunjukkan pengisian kontras yang relatif homogen yang terletak di bagian tengah dari massa yang masif di regio aksila kanan, selain itu juga terjadi peningkatan kontras di peritumoral pada struktur otot sekitarnya setelah diberikan injeksi kontras. Dari temuan tersebut kami menduga adanya pseudoaneurisma arteri aksila kanan yang terabaikan akibat trauma kaput humerus yang terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Selain itu, Computed Tomography Angiography (CTA) scan dilakukan untuk mengkonfirmasi lebih jauh tentang dugaan temuan pseudoaneurisma tersebut dan didapatkan adanya lesi bulat dengan kontras yang meningkat didalamnya, sesuai dengan gambaran pseudoaneurisma tipe sakular dari arteri aksilaris kanan dengan leher yang sempit berdiameter sekitar 5,1 mm dan tinggi 3,5 cm serta lebar 3,2 cm yang menjorok ke aspek lateral ke arteri aksila kanan.
Dalam kasus yang kami sajikan, diagnosis pseudoaneurysm menjadi terlambat dan tertunda karena adanya presentasi klinis aneurysna dikaburkan oleh massa jaringan lunak yang dicurigai sebagai tumor jaringan lunak primer. Pemeriksaan radiologis dan histopatologi awal menyampaikan diagnosis massa jaringan lunak primer. Setelah evaluasi lebih lanjut menggunakan MRI menunjukkan diagnosis pseudoaneurisma arteri aksila kanan disertai hematoma besar yang melibatkan struktur otot dengan usia produk perdarahan yang berbeda-beda. Terakhir, diagnosis tersebut dikonfirmasi lebih lanjut dengan pemeriksaan CTA. Pasien pada akhirnya menderita komplikasi sepsis dari infeksi yang berujung pada kematian pasien.
Pseudoaneurisma arteri aksila jarang ditemukan pada trauma regio aksila. Dalam kasus ini, adanya pseudoaneurisma arteri aksila mungkin karena trauma dan dapat diperburuk oleh pijat tradisional. Seperti yang dijelaskan oleh beberapa penulis, pseudoaneurisma dapat terjadi segera setelah cidera primer atau cidera tertunda, karena ukuran aneurisma awalnya kecil dan terjadi kolateral yang baik pada ekstremitas atas. Kasus seperti itu juga telah dilaporkan oleh beberapa penulis, termasuk Dympep dkk., yang melaporkan beberapa kasus pada pasien dengan trauma daerah bahu kiri dengan pseudoaneurisma arteri aksila yang menyerupai tumor jaringan lunak dengan komplikasi cidera pleksus brakialis. Diagnosis dilakukan dengan ultrasonografi doppler, yang dikonfirmasi dengan CTA.
Dari kasus di atas dapat diambil kesimpulan adalah begitu pentingnya komunikasi yang baik antara pasien dan dokter dalam team, sehingga sejak awal dapat merencanakan pemilihan pemeriksaan pencitraan yang cepat dan tepat, dengan menelusuri kembali riwayat penyakit dan kondisi klinis pasien, sehingga dapat ditarik suatu diagnosis yang tepat dan penanganan yang optimal dapat segera dilaksanakan untuk menghindari komplikasi yang buruk yang dapat menyebabkan kematian pasien.
Penulis: Rosy Setiawati
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://www.karger.com/Article/FullText/509769
Setiawati R, Varidha V, U, Guglielmi G, Del Grande F: A Rare Case of Neglected Rupture of Right Axillary Artery Pseudoaneurysm Mimicking a Soft Tissue Tumor. Case Rep Oncol 2020;13:1082-1090. https://doi.org/10.1159/000509769