Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Meskipun angka kematian dari PJK memiliki penurunan selama empat dekade terakhir, PJK tetap bertanggung jawab untuk 1 dari 6 kematian di Amerika Serikat pada tahun 2009 dan sekitar sepertiga atau lebih dari semua kematian di atas usia 35 tahun. Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi CAD pada penduduk berusia di atas 15 tahun di Indonesia adalah 1,5% sedangkan di tahun 2018 meningkat menjadi 2.2%.
PJK dibagi menjadi manifestasi akut dan kronis. Manifestasi akut termasuk Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome/ACS) yang terdiri dari sindrom koroner akut non-ST-elevasi dan infark miokard dengan ST-elevasi. Sedangkan manifestasi kronisnya adalah penyakit arteri koroner stabil (Stable Coronary Artery Disease/ SCAD) atau sekarang disebut sindroma koroner kronis. Pasien sering datang dengan nyeri dada atau angina pektoris yang merupakan manifestasi klinis dari PJK yang sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari. Penderita PJK umumnya diberikan terapi medis anti angina untuk mengatasi keluhannya. Pada sejumlah pasien PJK yang sudah mendapat anti angina masih ada keluhan angina pektoris. Mekanisme terjadinya angina pektoris dapat disebabkan oleh berbagai hal yang dapat mengganggu keseimbangan kebutuhan dan ketersediaan oksigen miokard yang dapat terjadi pada saat beraktivitas atau istirahat dan dapat bersifat akut maupun kronis.
Perkembangan PJK didahului oleh aterosklerosis di arteri koroner. Lesi aterosklerotik dapat terbentuk sebagai lesi stenotik dan non-stenotik. Stenosis yang terjadi di arteri koroner sebenarnya hanyalah “puncak gunung es” dari proses aterosklerosis yang menyebar secara luas. Patofisiologi aterosklerosis dimulai dengan pembentukan fatty streaks, akumulasi sel foam dan sel T dalam tunika intima . Inti dari atheroma dikelilingi oleh lapisan sel otot polos dan matrix yang kaya kolagen . Di perifer, dalam atheroma terdapat sejumlah besar infiltrasi sel TLC, makrofag, dan sel mast.
Sel mast ini diduga berperan dalam modulasi aterogenesis sehingga jumlah sel mast di ateroma memiliki efek meningkatkan risiko pecahnya plak. Salah satu mediator yang dilepaskan oleh sel mast yang diduga berperan dalam patofisiologi CCS dan ACS adalah histamin. Studi terkait histamin dan perannya dalam aterosklerosis telah banyak dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba, tetapi studi histamin pada pasien CAD belum banyak dilakukan. Berdasarkan studi in vitro , Lindstedt dkk pada 2006 melaporkan bahwa histamin menyebabkan dilatasi pembuluh darah sehingga meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi edema lokal dan penarikan sel inflamasi yang kemudian meningkatkan risiko erosi dan ruptur plak. Data penelitian histamin pada pasien PJK umum dan khususnya pada pasien ACS dan SCAD masih belum banyak tersedia sehingga penelitian ini bermaksud untuk mencari tahu perbedaan kadar histamin plasma pada kedua kelompok pasien tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan studi transversal. Tujuan penelitian ini adalah untuk membedakan kadar histamin plasma pada penderita Sindrom Koroner Akut dan Penderita Penyakit Arteri Koroner Stabil serta menganalisis hubungan kadar histamin plasma dengan derajat angina berdasarkan klasifikasi Canadian Cardiovascular Society (CCS).
Populasi sasaran adalah penderita PJK di Kota Surabaya selama masa penelitian Juli hingga Oktober 2015. Populasi yang dapat dijangkau dalam penelitian ini adalah pasien PJK yang datang ke IGD dan poliklinik jantung di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sampel penelitian adalah penderita PJK yang dibagi menjadi 2 kelompok sampel penelitian dimana kelompok pertama adalah penderita sindrom koroner akut (ACS) dan kelompok kedua adalah penderita PJK stabil (SCAD). Kriteria inklusi diantaranya usia ≥ 20 tahun, pasien SCAD dan ACS dengan konfirmasi dari riwayat, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram (EKG), hasil laboratorium penanda jantung (CKMB dan troponin I), exercise stress test (EST), ekokardiografi, atau angiografi koroner sebelumnya. Kemudian kriteria eksklusi meliputi adanya penyakit autoimun, keganasan, mengonsumsi obat antihistamin dalam jangka waktu 3 hari sebelum pengambilan sampel darah, dan riwayat pemakaian obat kortikosteroid dalam jangka waktu 3 hari sebelum pengambilan sampel darah. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu sampel diambil dari populasi yang dapat dijangkau dengan pertimbangan tertentu sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.
Subjek dari ACSdan SCADyang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian ini sebanyak 25 responden dengan ACSdan 24 responden dengan SCAD. Nilai median kadar histamin plasma pada kelompok ACS adalah 30,79 ng / ml dengan kisaran nilai 5,86 – 36,09 ng / ml. Sedangkan pada kelompok pasien SCAD adalah 26,42 ng / ml dengan kisaran nilai antara 0, 30 – 41,39 ng / ml. Hasil uji Mann-Whitney U Test menunjukkan perbedaan kadar histamin plasma yang bermakna antara kelompok penderita SKA dan SCAD dengan nilai median kadar histamin plasma kelompok penderita ACS dan kelompok penderita SCAD sebesar 30,79 ng / mL dan 26,42 ng / ml. Kedua perbedaan median secara statistik signifikan, p = 0,011 (p <0,05).
Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya oleh Clejan et al pada tahun 2002 di mana terdapat perbedaan kadar histamin yang signifikan pada kelompok ACS, SCAD dan kontrol. Penelitian oleh Zdradkovic et al pada tahun 2011 juga memperoleh hasil yang serupa di mana kadar histamin pada kelompok ACS-STEMI lebih tinggi secara signifikan dibanding SCAD dan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol lebih besar dari 2 sampai 3 lipat.
Subanalisis dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar histamin plasma dengan derajat angina berdasarkan klasifikasi Canadian Cardiovascular Society. Nilai median tertinggi diperoleh pada subjek penelitian dengan derajat angina CCS IV sedangkan nilai median terendah diperoleh pada subjek penelitian menurut derajat angina CCS I. Tidak ada penelitian lain yang menghubungkan kadar histamin plasma dengan derajat angina. Namun dari hasil uji statistik menggunakan uji korelasi rank spearman antara kadar histamin plasma dan derajat angina didapatkan korelasi positif sedang yang bermakna secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa ketika kadar histamin plasma meningkat, derajat angina juga meningkat.
Dalam studi Wang et al di tahun 2011 pada tikus yang dirancang secara genetik untuk mengalami defisiensi histamin dan dibandingkan dengan kontrol, terdapat lebih sedikit aterosklerosis pada tikus dengan defisiensi histamin. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya, di mana histamin dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas arteri kapiler pada plak aterosklerotik sehingga terjadi perdarahan pada plak dan akibatnya bila intima menebal dan lumen arteri koroner menjadi menyempit juga dapat menyebabkan spasme arteri koroner.
Penelitian ini memiliki kelemahan antara lain tidak adanya kelompok kontrol dan belum dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan nilai dasar histamin. Pemeriksaan sampel darah di laboratorium dengan tempat yang berbeda dari tempat pengambilan sampel darah juga berpotensi berpengaruh pada hasil data kadar histamin yang diperoleh. Sehingga, masih ada potensi untuk dilakukan penelitian pada topik ini dengan sampel yang lebih besar dan metodologi yang lebih baik.
Penulis : Johanes Nugroho Eko Putranto
Link : https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/441/1/012181