UNAIR NEWS – Rokok, selalu saja menjadi sorotan sejak dahulu, seakan tak ada habisnya. Hingga kini masih saja pertentangan pendapat terjadi antara kubu produsen hingga konsumen rokok dengan penggerak kesehatan. Karenanya, organisasi mahasiswa kesehatan masyarakat (Kesmas) bernama Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI) menggelar kegaiatan ISMKMI goes to Campus. Selain bertujuan menjaga silaturahmi dengan institusi Kesmas, kegiatan tersebut juga mengangkat isu kesehatan tentang rokok.
Pembahsan isu tentang rokok fokus pada dua hal yakni Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan World Tobacco Asia (WTA). Dalam pembahasannya, selalu dikaitkan dengan kondisi kampus dan ditanggapi oleh Diansanto Prayoga S.KM., M.Kes selaku dosen sekaligus pembina B-PHA UNAIR yang menjadi pembicaranya.
KTR merupakan kawasan larangan terkait pengadaan, jual beli, distribusi dan iklan yang berkaitan dengan rokok. Mengingat, kampus PSDKU Universitas Airlangga (UNAIR) berada di wilayah sekolah dan diperkuat adanya Peraturan Daerah Bayuwangi terkait KTR maka otomatis wilayah kampus PSDKU merupakan KTR.
“Otomatis, meski Kampus Banyuwangi tidak ada deklarasi kampus bebas rokok, ditambah ada aturan Pemkab Banyuwangi tentang kawasan terbatas merokok yaitu lingkungan sekolah, perkantoran dan layanan kesehatan,” ungkapnya pada kegiatan yang dilaksanakan Sabtu, 19 Desember 2020.
Kendati demikian, masih ada saja oknum yang melanggarnya. Moderator dari pihak ISMKMI yang rupanya juga berasal dari kampus UNAIR bercerita bahwa banyak mahasiswa yang merokok di area kampus lantaran beranggapan diluar kelas bukan area belajar sehingga dibebaskkan untuk merokok. Dosen yang akrab disapa Dian itupun menjelaskan bahwa area kampus yang merupakan KTR adalah seluruh lingkungan yang dibatasi oleh pagar Kampus. Ia pun menegaskan, jika ingin merokok bisa dilakukan di luar pagar yang ada.
Tak berhenti disitu, pembahasan rokok semakin meluas. Kali ini berkaitan dengan isu cukai rokok dinaikkan demi mengendalikan konsumsinya. Dian tak menganggap kenaikan cukai rokok tersebut naik terlalu tinggi seperti yang dihebohkan masyarakat. Namun, bagi Dian ada hal yang jauh lebih penting sebelum hal itu dijalankan yakni membuat peraturan harga minimal rokok dan aturan larangan menjual rokok eceran.
“Jika eceran, potensi generasi muda untuk membeli rokok semakin besar. Biasanya anak muda, remaja, uangnya terbatas. Dari situ setidaknya menyelamatkan anak mudanya. Saya khawatir jika harga dinaikkan, banyak yang menjual rokok secara batangan, itu lebih bahaya,” jelasnya.
Pada akhir diskusi Dian memberikan gambaran yang dapat dilakukan oleh seorang Sarjana Kesmas terkait permasalahan rokok. Melakukan kajian, monitoring dan evaluasi berkelanjutan, melakukan advokasi dengan pemerintahan setempat juga dapat dilakukan.
“Setiap pemerintah daerah selalu mengejar reward kota layak anak, salah satu indikatornya yaitu adanya peraturan KTR. Itu bisa jadi entry point untuk melakukan advokasi dan monitoring pemerintah daerah,” pungkasnya. (*)
Penulis : Rista Novianti
Editor : Nuri Hermawan