Jederrr, braak! Sering terdengar suara keras yang ditimbulkan oleh adanya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Diiringi raung suara sirine ambulance. Pasien dengan segera dibawa ke instalasi gawat darurat (IRD) rumah sakit atau pelayanan kesehatan terdekat. Salah satu akibat yang mendekati fatal adalah cedera otak atau Traumatic Brain Injury (TBI). Itu adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar. Cedera otak dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik, bisa membawa maut. Cedera otak juga dapat menyebabkan penumpukan darah atau cairan dalam rongga kepala yang berpotensi meningkatkan tekanan intrakranial, tekanan di dalam rongga kepala. Salah satu penatalaksanaan kasus peningkatan tekanan intrakranial adalah dekompresi kraniektomi (DK). Kepada siapa saja terapi itu dilakukan, khususnya para pasien yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya? Tulisan ini akan menjawabnya melalui informasi data RSUD Dr. Soetomo Surabaya dalam tahun 2016.
Dekompresi kraniektomi adalah prosedur membuka tulang tengkorak untuk meningkatkan volume dalam tengkorak, mengurangi penyempitan volume ruang kepala. Penyempitan dari yang semula, dari yang selama ini ada. Tulisan ini merupakan hasil penelitian deskriptif kuantitatif menggunakan pendekatan prospektif. Sampel menggunakan pasien cedera otak yang menjalani terapi DK di Ruang Observasi Intensif (ROI) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo, yang memiliki data medik lengkap pada bulan September hingga Desember 2016.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi (sesuai untuk diteliti) dijadikan sampel penelitian sampai memenuhi jumlah minimal sebanyak 30 sampel. Data mengenai pasien cedera otak yang menjalani DK diperoleh dari rekam medis pasien, observasi langsung, dan menghubungi pasien melalui telepon. Data tersebut direkam selama periode September hingga Desember 2016. Total pasien cedera otak yang menjalani DK di ROI RSUD Dr. Soetomo Surabaya sesuai durasi tersebut adalah 38 orang. Data dilacak sejak bulan September 2016 sampai Maret 2017. Beberapa indikator penelitian yang digunakan adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, mekanisme cedera otak, klasifikasi cedera otak, indikasi dilakukannya DK, penyakit lain yang dimiliki pasien, dan hasil terapi.
Sesuai dengan analisis yang dilakukan, yang didasarkan kepada beberapa variabel tersebut di atas, serta hasil terapi yang digambarkan menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GOS) didapatkan informasi gambaran kriteria pasien yang sesuai untuk DK. Pasien-pasien tersebut memiliki beberapa ciri antara lain sebagian besar terapi DK dilakukan pada kelompok usia 40-59 tahun. Pada kisaran usia tersebut, masyarakat memiliki mobilitas yang tinggi, rentan mengalami trauma. Banyaknya jumlah trauma yang perlu mendapatkan terapi DK pada usia itu, memperlihatkan perlunya peningkatan keamanan dalam berkendara. Untuk itu perlu peningkatan kedisiplinan berlalu lintas. Disiplin dalam penggunaan helm yang benar, penggunaan sabuk pengaman, mengontrol kecepatan saat mengemudi, terutama pengendara motor.
Hasil penelitian di negara-negara lain di dunia memiliki kesamaan dengan hasil penelitian yang didapatkan di RSUD Dr. Soetomo. Jumlah pasien terbanyak yang menjalani DK adalah laki- laki (86%). Itu dapat terjadi karena laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi daripada perempuan. Sebagian besar laki-laki yang harus bekerja untuk keluarga. Riset juga menunjukkan bahwa, sejumlah besar DK dilakukan pada kelompok pasien yang berprofesi sebagai buruh. Sedangkan pegawai negeri menempati urutan terkecil. Penderita terbanyak mengalami perdarahan otak kombinasi. Sebagian besar pasien memiliki nilai GCS=0. Dari seluruh jumlah pasien yang dilakukan DK, sebagian besar (53%) bertahan hidup.
Mengapa Dilakukan DK
DK sudah lama digunakan untuk mengobati hipertensi tekanan intrakranial (TIK) yang tidak terkontrol dari berbagai sebab. Sebagian penyebabnya antara lain; infark serebral, trauma, perdarahan sub-arachnoid, dan perdarahan spontan. Pemilihan pasien, waktu operasi, jenis operasi, dan tingkat keparahan cedera otak secara klinis dan radiologis merupakan beberapa faktor yang beerpengaruh dalam kesuksesan penanganan terapi DK. DK perlu dipertimbangkan ketika penatalaksanaan umum dan intervensi tingkat awal gagal untuk mengontrol peningkatan TIK. Jadi DK merupakan penatalaksaan tingkat kedua.
DK dilakukan untuk meningkatkan volume ruang otak dengan membuka tulang tengkorak dan duramater (selaput otak paling luar). Sebelum dilakukan DK, diperlukan sejumlah persyaratan. Termasuk di antaranya adalah; pertama, apakah DK dapat mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial? Kedua, apakah DK dapat menghindarkan herniasi otak (karena edema pada margin tulang)? Ketiga, apakah hasil membenarkan pengobatan, ialah meningkatkan hasil kesembuhan? Keempat, apakah kemungkinan komplikasinya lebih ringan dibandingkan keuntungan yang diperoleh?
Selayaknya tidak dilakukan DK pada pasien yang memiliki prognosis yang baik dengan pengobatan medis saja. Selanjutnya ada kondisi khusus yang mengiyakan segera dilakukannya DK yaitu, perdarahan epidural. Jika terjadi perdarahan progresif di atas duramater. Kondisi demikian tidak mengharuskan lagi menilai GCS. Bila perdarahan epidural lebih atau sama dengan 30 cc dan atau ketebalan perdarahan mencapai 15 mm atau pergeseran garis tengah otak sebesar 5 mm, pasien segera diterapi menggunakan DK. Inti pengambilan keputusan adalah seberapa besar harapan sembuh dari tindakan penurunan TIK melalui terapi DK.
Penulis: Prof. Dr. Abdurachman, dr., M.Kes., PA(K)
Informasi detail terkait jurnal ilmiah scopus index ini bisa disimak di:
Oretha Istiqomah Sunarto, Abdul Hafid Bajamal, Abdurachman. Outcome of Brain Injury Patients After Decompressive Craniectomy in Tertiary Referral Hospital in East Java Indonesia. Research J. Pharm. and Tech. 2019; 12(12): 6057-6061. doi: 10.5958/0974-360X.2019.01051.5