Skala dan kompleksitas kejahatan trans-nasional merupakan tantangan tersendiri bagi negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik. Kawasan ini menjadi saksi arus kejahatan trans-nasional yang setiap waktu mengalami evolusi mulai dari modus hingga bentuk kejahatan-kejahatan baru. Sebutlah perdagangan dan penyelundupan manusia (trafficking and people smuggling), kejahatan yang berkaitan dengan narkotika dan obat-obatan terlarang, terorisme hingga beberapa situasi di internal sebuah negara yang memicu orang untuk melakukan migrasi ke negara lainnya. Kompleksitas yang ada ini juga secara tidak langsung dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi. Pelaku kejahatan semakin berevolusi dengan memanfaatkan jaringan teknologi, informasi dan komunikasi sebagai bagian dari modus operandinya. Dengan demikian, pengamanan sebuah wilayah tentu menjadi hal yang mutlak bagi setiap negara di kawasan tersebut sebagai bagian upaya dalam menjaga keamanannya.
The Bali Process on People Smuggling, trafficking in Persons and Relates Transnational Crimes merupakan salah satu forum multilateral sebagai bentuk respon atas perkembangan kejahatan trans-nasional tersebut. Forum kerjasama ini diinisiasi oleh Indonesia dan Australia pada tahun 2002, dimana kedua negara ini sekaligus menjadi Ketua Bersama. Hingga saat ini, Bali Process telah memiliki 49 anggota, yaitu 45 negara dan 4 organisasi internasional yaitu International Labour Organization (ILO), International Organization for Migration (IOM), the United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), the United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Awal mula pembentukan forum ini merupakan inisiasi dari rapat forum regional setingkat menteri yang diselenggarakan pada Februari 2002. Sejak dicanangkan, 49 negara anggota Bali Process telah merespon dengan berbagai strategi dan kerjasama yang bersifat praktikal dan implementatif untuk mencegah dan memerangi penyelundupan dan perdagangan orang, serta kejahatan-kejahatan trans-nasional lain yang terkait beserta konsekuensi-konsekuensi lainnya.
The Bali Process telah menjadi Regional Consultative Process tertua dan terbesar di satu kawasan. Dalam kerangka ini, Indonesia sendiri telah mengadakan berbagai inisiatif yang mengumpulkan pihak berwenang, praktisi dan para ahli di kawasan untuk meningkatkan kerjasama dalam penanganan migrasi ireguler (irregular migration) melalui manajemen perbatasan (border control management) yang lebih baik, pengadopsian pendekatan yang berpusat pada korban, dan pemajuan saluran-saluran migrasi yang aman.
Dalam perkembangannya, forum the Bali Process menginisiasi Regional Biometric Data Exchange Solutions atau lebih dikenal dengan RBDES sebagai bagian dari upaya untuk memperbesar peran dari teknologi biometrik yang telah digunakan dan dikembangkan oleh negara-negara anggota Bali Process di wilayah perbatasan. RBDES merupakan kerjasama multinasional negara-negara anggota Bali Process yang menyediakan kerangka kerja dalam bidang pertukaran data biometrik. Kerangka kerja tersebut terdiri dari kerangka hukum, kerangka teknis, perlindungan privasi dan bisnis proses secara keseluruhan. Pembentukan RBDES merupakan respon atas belum adanya kerangka kerja serta kerangka hukum yang memungkinkan antar negara anggota Bali Process untuk pertukaran informasi khususnya data biometrik dalam konteks border control management.
Secara teknis, RBDES pada dasarnya hanya memfasilitasi pertukaran data biometrik berupa fingerpirnt antar negara-negara anggota Bali Process. Sistem pada RBDES tidak secara langsung tersambung dengan database nasional ataupun Sistem snformasi masing-masing negara. Lebih lanjut, RBDES ini dibangun dan dikembangkan dengan teknologi yang dapat mengintegrasikan sistem yang telah ada sebelumnya. Integrasi dalam hal ini memungkinkan pula untuk menggantikan beberapa proses manual yang telah dijalankan oleh otoritas perbatasan suatu negara. Lebih lanjut, kerangka RBDES dapat digunakan sebagai sarana identifikasi terhadap hal-hal sebagai berikut: a) Melakukan pemeriksaan untuk memfasilitasi permintaan reunifikasi keluarga dari Organisasi Non-Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); b) Membantu mempercepat proses pendaftaran ke sistem UNHCR; c) Pendaftaran pekerja migran; d) Untuk memantau irregular movement of people yang berpotensi sebagai media perpindahan Foreign Terrorist Fighters (FTFs); e) Migrasi tenaga kerja; f) Pemulangan darurat (emergency repatriation); g) Pemukiman kembali (resettlement); dan beberapa hal yang mungkin potensial untuk dapat dibantu penyelesainnya dengan sistem informasi dalam skema RBDES.
Tantangan terberat dalam memfasilitasi pertukaran data biometrik ini akan selalu berhadapan dengan bagaimana skema perlindungan terhadap subjek data mengingat potensi pelanggaran terkait dengan exposure identitas dari subjek data yang terjadi sangat terbuka lebar. Dalam praktiknya terdapat beberapa persoalan mengenai pengaturan dan skema perlindungan terhadap data biometric. Data biometrik merupakan data yang dikategorikan sebagai data yang bersifat sensitive. Sehingga keberadaan hukum perlindungan terhadap data pribadi merupakan salah satu indicator yang dapat dipakai untuk mengetahui tentang kesiapan sebuah negara dalam mengimplementasikan program ini.
Dalam konteks ASEAN, mekanisme RBDES ini telah diadopsi oleh sebagian besar anggota ASEAN dengan tujuan ideal awalnya adalah bahwa kerjasama regional pertukaran data biometric akan membantu dalam meningkatkan keamanan nasional serta menangani isu tentang irregular migration. Namun, penelitian ini menemukan adanya kesenjangan di antara negara-negara anggota ASEAN dalam hal pengaturan perlindungan data. Dari 10 negara anggota ASEAN, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina telah mempunyai seprangkat aturan perlindungan data dan privasi online. Sementara itu, Indonesia, Myanmar dan Vietnam masih belum mempunyai pengaturan yang komprehensif dalam bidang privasi dan perlindungan data pribadi. Harapan untuk skema biometric data sharing adalah sebuah hal yang ambisius. Belum lagi, masih ada perselisihan di antara anggota Bali Process tentang berbagi mekanisme penanganan dan tanggung jawab kemanusiaan (humanitarian responsibility mechanism).
Penulis: Masitoh Indriani & Amira Paripurna
Informasi detail tentang riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: INDRIANI, Masitoh; PARIPURNA, Amira. Biometric Data Sharing in Addressing Irregular Migration and Security Issues within The Bali Process Framework for Indonesia and ASEAN Member States. Journal of Southeast Asian Human Rights, [S.l.], v. 4, n. 2, p. 449-474, dec. 2020. ISSN 2599-2147. Available at: <https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEAHR/article/view/17289>. Date accessed: 19 dec. 2020. doi: https://doi.org/10.19184/jseahr.v4i2.17289.