Fistula adalah suatu hubungan yang abnormal antara dua permukaan berepitel, dimana salah satunya berasal dari organ berongga. Fistula enterokutan (ECF) atau disebut juga fistula intestinal eksternal merupakan kondisi dimana didapatkannya hubungan abnormal antara usus besar atau usus halus dengan permukaan kulit. Suatu fistula enterokutan dapat berasal dari lambung, duodenum, jejunum, ileum, kolon, maupun rektum. Fistula enterokutan seringkali berhubungan dengan trias sepsis, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan malnutrisi.
Fistula enterokutan sebagian besar (75% – 90%) terjadi secara iatrogenik pasca operasi. Pada suatu studi, sebanyak 95% fistula enterokutan terjadi pasca operatif, dan ileum merupakan lokasi yang paling sering terjadinya fistula enterokutan. Fistula enterokutan lainnya sebesar 10% – 25% terjadi secara spontan maupun akibat adanya kelainan intrinsik seperti penyakit Crohn, enteritis radiasi, obstruksi distal, maupun abses atau peritonitis. Faktor risiko terjadinya fistula enterokutan pasca operasi meliputi faktor risiko teknis dan pasien. Faktor risiko teknis diantaranya akibat persiapan operasi, teknik operasi, maupun penanganan pasca operasi yang kurang baik. Sementara faktor risiko pasien diantaranya usia, kondisi medis yang mendasari pasien serta gaya hidup berisiko. Optimalisasi komorbiditas dan penanganan awal malnutrisi perlu dilakukan, terutama pada operasi elektif.
Fistula enterokutan diklasifikasikan berdasarkan anatomi, fisiologi, dan etiologi dari fistula yang timbul. Secara anatomis, fistula dapat berasal dari lambung, duodenum, jejunum, ileum, maupun kolon. Secara fisiologis, fistula diklasifikasikan sebagai high output, moderate output, dan low output berdasarkan jumlah cairan yang keluar dalam 24 jam. Sedangkan secara etiologis, fistula dinamai berdasarkan proses penyakit yang terkait, seperti fistula divertikel atau fistula neoplasma. Pada fistula gastroduodenal dan jejunum, fistula yang terjadi berupa high output dan kehilangan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, serta malabsorpsi terlihat jelas. Sementara pada fistula ileum dan kolon, fistula yang terjadi berupa low output sehingga dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa, serta malnutrisi jarang ditemukan.
Diagnosis definitif fistula enterokutan biasanya ditegakkan melalui visualisasi drainase dari insisi operasi atau dari lokasi drain. Baku emas dalam mendiagnosis fistula adalah menggunakan fistulogram dengan media kontras larut air, yang dilakukan setelah stabilisasi dan manajemen sepsis. Fistulogram dapat menunjukkan konfigurasi traktus, asal fistula, ukuran, dan kavitas abses yang berhubungan dengan fistula. Selain itu, modalitas CT scan dengan kontras juga dapat membantu dalam mengidentifikasi fistula serta menggambarkan ada tidaknya kavitas abses di sekitar fistula.
Penanganan fistula enterokutan terdiri dari tiga fase yaitu stabilisasi, penentuan stadium dan penanganan suportif, serta terapi definitif. Saat suatu fistula teridentifikasi, tatalaksana perlu difokuskan pada resusitasi segera, penanganan sepsis, dan pertimbangan faktor potensial yang menghambat penutupan spontan. Penanganan fistula enterokutan membutuhkan keterlibatan dokter bedah, ahli gizi, terapis enterostomal, radiologis intervensi, dan gastroenterologis. Pada fase stabilisasi, penanganan ditekankan pada resusitasi, penanganan sepsis, serta kontrol dari output fistula. Ketika sepsis telah terkontrol dan terapi nutrisi telah diberikan, fistula harus ditentukan stadiumnya secara tepat dengan mengkombinasi kondisi klinis pasien dengan pemeriksaan penunjang seperti studi kontras fluoroskopi, fistulografi, dan CT scan.
Prognosis dari fistula enterokutan bergantung pada klasifikasinya, baik dari klasifikasi anatomis, fisiologis, maupun etiologinya. Lokasi anatomis fistula mempengaruhi besar kecilnya output fistula yang merupakan faktor prediktif mortalitas yang cukup kuat dan dapat berdiri sendiri dimana semakin besar output suatu fistula, efek yang ditimbulkan kepada pasien semakin berat dan semakin meningkatkan angka mortalitas. Penanganan fistula enterokutan baik berupa penanganan konservatif maupun operatif juga berpengaruh pada prognosis. Tidak ada penanganan yang lebih unggul, namun sebaiknya diupayakan penanganan fistula enterokutan sekonservatif mungkin kecuali bila didapatkan penyulit.
Penanganan fistula enterokutan hingga saat ini masih menjadi tantangan meskipun perkembangan penanganan suportif pasien belakangan ini mengalami kemajuan. Sesaat setelah diidentifikasi, pendekatan tiga fase yang meliputi stabilisasi yang terdiri dari resusitasi dan penanganan sepsis, penentuan stadium dan penanganan suportif yang berupa optimalisasi kondisi medis dan nutrisi dan, pada beberapa kasus, intervensi bedah definitif diperlukan, dimana perlu perencanaan yang matang, diseksi yang tepat, reseksi serta reanastomosis dan rekonstruksi dari usus dan dinding perut sangat perlu diperhatikan. Sebagian besar dari fistula sembuh spontan dalam 4 hingga 6 minggu dengan penanganan konservatif. Bila penutupan tidak terjadi setelah waktu tersebut, intervensi bedah diindikasikan.
Penulis: Nanda Rachmad Putra Gofur
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: