Energi panas bumi merupakan sumber daya alam yang terbarukan sebagai energi alternatif yang memiliki potensi besar bagi keberlanjutan energi nasional dan perekonomian Indonesia. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia menjadi penghasil tenaga panas bumi terbesar di dunia pada tahun 2021 dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia mencapai lebih dari 3.550 Megawatt (MW). Saat ini telah teridentifikasi 331 titik potensial di 30 provinsi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Sulawesi dengan rincian cadangan 17.506 MW dan sumber daya 11.073 MW. Potensi ekonomi atas pemanfaatan panas bumi memiliki andil sebagai penunjang penerimaan negara. Penerimaan negara bukan pajak sub sektor Energi Terbarukan dan Konservasi Energi pada tahun 2017 telah melebihi target, yakni mencapai Rp 933 miliar, atau 140 persen dari target APBN-P tahun 2017. Namun demikian pemanfaatan panas bumi selain mempunyai dampak positif bagi kelangsungan sumber daya alam Indonesia, ternyata juga mempunyai dampak negatif yakni mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Oleh karenanya melalui pajak lingkungan sebagai instrument ekonomi lingkungan hidup sebagai sarana untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dengan jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2016 sebanyak 257.912.349 jiwa. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, penggunaan listrik di negara kita meningkat setiap tahun. Dengan laju produksi seperti sekarang ini dan diasumsikan tidak ada penemuan ladang minyak bumi baru, maka cadangan minyak akan habis dalam 12 tahun ke depan. Cadangan gas bumi akan habis dalam 40 tahun ke depan, sementara itu cadangan batubara masih akan tersedia hingga 80 tahun ke depan. Terjadinya sumber energi panas bumi di Indonesia karena terdapat tiga lempengan yang berinteraksi di Indonesia, yaitu lempeng Pasifik, lempeng India Australia dan lempeng Eurasia. Tumbukan yang terjadi antara ketiga lempeng tektonik tersebut telah memberikan peranan penting bagi terbentuknya sumber energi panas bumi di Indonesia.
Energi panas bumi sebagai energi yang terbarukan yang ramah lingkungan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan energi yang tidak terbarukan. Namun demikian efek negatif dari pemanfaatan panas bumi salah satunya dapat memicu migrasi gas rumah kaca ke permukaan bumi dan pada akhirnya mencemari udara di sekitar kita. Selain itu, reservoir panas bumi juga dapat mengandung logam berat beracun seperti arsen, boron, dan merkuri dan juga dapat menyebabkan permukaan bumi tidak stabil (pemicu gempa).
Kerusakan lingkungan yang masif akibat pemanfaatan panas bumi mengancam kelangsungan keseimbangan lingkungan, dan negara dihadapkan pada tanggung jawab untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup bersih dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, negara tidak hanya memiliki kewenangan untuk memungut pajak di bidang panas bumi, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memulihkan kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi panas bumi.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan dan melaksanakan instrumen ekonomi lingkungan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerapan pajak lingkungan di Indonesia sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Pada pasal tersebut, pajak lingkungan adalah insentif dan/atau disinsentif instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup yang dikenakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Instrumen ekonomik adalah hal yang baru dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan sarana pengaturan langsung (command and control) yang bersifat tradisional, misalnya dengan sarana perizinan. Penggunaan instrument ekonomik dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Prinsip ke-17 Deklarasi Rio De Jenerio 1992, “Otoritas nasional harus berusaha untuk mempromosikan internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan pendekatan bahwa pencemar harus, pada prinsipnya, menanggung biaya pencemaran, dengan memperhatikan kepentingan publik dan tanpa mengganggu perdagangan internasional dan investmet.
Regulasi pemungutan pajak di sektor panas bumi masih belum sempurna mengatur mengenai instrumen pemulihan lingkungan hidup. Hal ini terbukti nyata dari belum adanya keselarasan norma dalam peraturan perpajakan di sektor panas bumi dan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Fungsi budgeter dalam pemungutan pajak di sektor panas bumi tidak diimbangi dengan fungsi reguleren dalam kaitannya dengan pemulihan lingkungan hidup.
Pemanfaatan energi panas bumi berdampak positif dan negatif terhadap lingkungan hidup. Terhadap dampak negatifnya, negara mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi hak atas lingkungan yang bersih sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Penerapan pajak lingkungan sebagai instrumen ekonomi lingkungan hidup masih belum diatur secara sempurna dalam hukum domestik Indonesia. Untuk itu, konstruksi hukum adalah untuk penerapan pajak lingkungan yaitu pengaturan kewenangan, tata cara, substansi, dan pengawasan pemungutan pajak lingkungan dengan memperhatikan asas legalitas.
Penulis: Indrawati, SH., LL.M.
Informasi detail dari artikel ini dapar diakses pada laman berikut: https://content.iospress.com/articles/environmental-policy-and-law/epl190166
(Environmental Taxation in the Geothermal Sector as an Economic Environmental Instrument)