Antibiotik merupakan obat yang sering digunakan untuk mengobati suatu penyakit infeksi, khususnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau kuman. Menggunakan antibiotik secara rasional adalah memberikan antibiotik kepada penderita sesuai dengan jenis penyakitnya, sesuai dengan dosis yang dianjurkan, serta memilih yang efek sampingnya paling minimal. Penggunaan antibiotic yang sembarangan dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotik. Berdasarkan penelitian Amrin (2015), di surabaya didapatkan sekitar 45% sampai 76% pemberian antibiotik yang tidak didasarkan indikasi, demikian pula yang terjadi di Jakarta dan semarang, antara 30% sampai 80% penggunaan antibiotik tidak didasarkan indikasi adanya infeksi.
Pemberian antibiotik ditujukan untuk mematikan bakteri yang diderita, tetapi pada kondisi terjadinya resisten antibiotik bakteri tidak dapat dimatikan, sehingga pemberian antibiotik menjadi sia sia dan tidak ada gunanya serat hanya menambah mahal biaya perawatan. Resistensi antibiotik sudah menjadi masalah dunia kesehatan di seluruh dunia, dampak dari resistensi antibiotik ini dapat menyebabkan bakteri menjadi kebal terhadap pemberian antibiotik, sehingga penderita infeksi tidak dapat sembuh bahkan dapat berakibat kematian. Untuk mencegah atau setidaknya mengurangi angka resistensi antibiotik ini, salah satunya adalah dengan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik pada pasien yang menderita infeksi bakteri dapat dilakukan pemberianya secara empiris, atau sebagai terapi definitif. Pemberian secara empiris yaitu antibiotik diberikan bila dokter sudah yakin pasiennya menderita infeksi tetapi belum ada hasil laboratoriun jenis bakteri dan antibiotik yang sesuai. Sedangkan Pemberian antibiotic secara definitif diberikan setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi sudah ada hasil jenis kuman dan antibiotik yang sensitif terhadap kuman tersebut
Salah satu cara untuk menyembuhkan penyakit akibat infeksi, terutama infeksi bakteri adalah dengan pemberian antibiotik kepada pasien yang menderita penyakit infeksi. Tanda seseorang menderita infeksi secara umum adalah suhu badannya meningkat, bahkan pada anak anak terkadang sampai disertai dengan kejang. Yang sering disebut dengan istilah kejang demam. Tetapi tidak semua suhu badan yang meningkat pada pasien adalah disebabkan infeksi bakteri, infeksi karena virus juga dapat menimbulkan gejala panas badan. Disinilah peran seorang dokter untuk menentukan apakah pasien ini menderita infeksi bakteri atau virus, atau penyakit yang lain. Pemberian obat berupa antibiotik pada pasien yang mengalami demam karena infeksi bakteri adalah salah satu langkah yang tepat atau di sebut juga rasional, tetapi apabila karena virus, maka pemberian antibiotik menjadi tidak rasional. Untuk menyakinkan dokter apakah pasien menderita demam karena infeksi bakteri atau infeksi virus, adalah dengan bantuan pemeriksaan darah dan pemeriksaan mikrobiologi untuk melihat jenis bakteri dan obat antibiotik yang sesuai dengan jenis bakterinya sehingga disebut sebagai tepat indikiasi
Selain tepat indikasi,Pemberian antibiotik secara rasional harus memenuhi persyaratan lain yaitu harus tepat obatnya, tepat dosisnya, tepat penderitanya serta harus waspada terhadap efek samping obatnya
Pemberian antibiotik empiris umumnya didasari dengan pola kuman yang ada di unit kesehatan masing masing yang dievaluasi tiap 6 bulan sampai 1 tahun. Pemberian antibiotik empiris ini umumnya ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi yang lebih berat atau diperkiran akan muncul misalnya pada pasien dengan luka bakar. Pasien yang menderita luka bakar sangat beresiko terjadi infeksi bakteri hal ini disebabkan karena pada luka bakar terjadi kerusakan kulit, dimana kulit yang berfungsi sebagai barrier masuknya kuman atau bakteri ke dalam tubuh gagal menjalankan fungsinya.
Beberapa pertimbangan dalam pemberian antibiotik empiris yaitu jenis bakteri yang sering menimbulkan infeksi pada penderita luka bakar, jenis antibiotik yang sering masih sensitif terhadap kuman tersebut, pola resistensi kuman atau antibiogram pada tempat atau rumah sakit dimana penderita dirawat. Semua hal diatas dilakukan dalam rangka mengurangi angka resitensi antibiotik, yang saat ini masih menjadi masalah kesehatan global dan menjadi perhatian seluruh dunia.
Pemberian antiniotik secara empiris harus selalu dilakukan evaluasi dan monitoring baik secara kualitatatif dengan menilai penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssent, maupun secara kuantitatif. Pada penelitian ini kami akan mengevaluasi pemberian antibiotik secara empiris terhadap kadar C reaktif Protein dan beberapa marker inflamasi pada penderita luka bakar.
Pada Penelitian ini dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik secara empiris pada penderita luka bakar yang dirawat di rumah sakit RSUD Dr, Soetomo Surabaya. Variabel yang diteliti pada riset ini adalah kadar leukosit, kadar neutrophil, kadar lymphosit sebagai tanda adanya infeksi, serta kadar CRP sebagai penanda berat ringan nya infeksi. Antibiotik empiris yang digunakan pada pasien luka bakar di RSUD Dr Soetomo adalah Ceftacidim (antibiotik golongan chepalosporin generasi 3)
Hasil dari penelitian ini bahwa pemberian antibiotik empiris pada kasus luka bakar di RSUD Dr Soetomo, yaitu Ceftacidim terbukti dapat menurunkan level CRP dan menurunkan kadar leukosit, kadar neutrophil, kadar lymphosit.
Penulis : DR. Iswinarno DS, dr. SpBP-RE(K)
Informasi detail dari penelitian ini dapat diakses pada laman berikut: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7263725/
(Effects of Empirical Antibiotic Administration on the Level of C-Reactive Protein and Inflammatory Markers in Severe Burn Patients)