Secara resmi pemerintah Iran baru menyampaikan kasus pertama COVID-19 di Kota Suci Qom pada 19 Februari 2020, atau tujuh hari setelah puncak rangkaian peringatan Revolusi Islam Iran. Sebagai tempat ziarah Muslim Syi’ah di Iran dan negara-negara Timur Tengah lainnya, ditemukannya COVID-19 di kota suci tersebut memberikan kontribusi menyebarnya penyakit ini di dalam negeri Iran maupun di luar Iran. Kondisi penyebaran semakin meningkat karena Perayaan Tahun Baru Bangsa Persia “Nowruz” yang jatuh pada tanggal 20, 21, 22 Maret 2020 ketika masyarakat Iran mengadakan festival, berkumpul, saling berkunjung, dan berpesta. Seruan stay at home tidak dipatuhi warga Iran. Akibatnya Iran menjadi negara kedua episentrum penyebaran COVID-19 setelah Tiongkok di awal-awal wabah ini merebak. Tercatat rata-rata setiap 10 menit jatuh korban meninggal di Iran. Tidak hanya menjangkiti masyarakat pada umumnya, para pejabat pun juga menjadi korban. Bagaimana strategi Iran menghadapi pandemi ini di tengah sanksi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Pertama adalah mobilisasi nasional layanan kesehatan. Pemerintah Iran telah melakukan langkah-langkah untuk menghadapi pandemi ini dengan cara: Pertama, menyediakan hotline service 190 dan 4030 dengan jaringan sebanyak 10000 layanan telepon untuk merespon pertanyaan masyarakat seputar COVID-19 sekaligus memberikan penjelasan, saran, dan rekomendasi termasuk pendampingan psikologis. Kedua, menyediakan 1000 pusat layanan kesehatan lengkap untuk khusus menangani COVID-19 yang buka selama 24 jam dan tujuh hari kerja. Ketiga, membuka website salamat.gov.ir untuk deteksi dini secara mandiri atas dasar data yang dimasukkan warga. Data yang dimasukkan tersambung dengan rekam medik elektronik yang dimiliki pasien di pusat-pusat layanan kesehatan. Tujuannya adalah untuk mengurangi penumpukan pasien di rumah sakit dan pusat-pusat layanan kesehatan lainnya. Mereka yang teridentifikasi memiliki gejala COVID-19 akan diarahkan ke rumah sakit tertentu untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, sekaligus juga melacak para pihak yang berhubungan erat atau kontak langsung dengan suspected patient. Layanan kesehatan yang ada di kota (Community-Based Health Workers/CHWs) maupun di pedesaan (Behvarz)akan mendapatkan notifikasi dari data yang masuk tentang suspected patient untuk ditindaklanjuti. Hasil interview dengan pasien melalui layanan telepon tindak lanjutnya bisa berupa karantina mandiri di rumah atau harus dirujuk ke rumah sakit tergantung kondisi pasien. Sekedar gambaran total di seluruh Iran terdapat sekitar 30.000 Behvarz (layanan kesehatan di pedesaan) dan 24.000 pusat layanan kesehatan di perkotaan.
Upaya berikutnya adalah dengan meningkatkan kapasitas melakukan test laboratorium. Awal Maret 2020, Iran memiliki 22 laboratorium untuk test COVID-19, sepuluh hari berikutnya meningkat menjadi 40, dan terakhir sampai bulan Juli 2020 sudah ada 100 laboratorium. Pemerintah mengalokasikan dana hingga US$ 2 milyar untuk penanganan COVID-19.
Untuk mengatasi lonjakan jumlah pasien, Iran melibatkan seluruh potensi nasional termasuk tentara (Garda Revolusi Islam Iran). Garda Revolusi telah menyiapkan rumah sakit-rumah sakit darurat dengan ribuan tempat tidur pasien yang tersebar mulai dari Provinsi Teheran sampai Bushers. Garda Revolusi telah membentuk Markas Nasional untuk menangani virus corona dengan 24 rumah sakit permanen, 13 rumah sakit yang dapat berpindah-pindah, dan 380 klinik militer di berbagai kota. Selain itu, Garda Revolusi juga menjadikan Rumah Sakit Baqiatallah milik Garda Revolusi sebagai pusat diagnostik virus terbesar di Iran. Selanjutnya, sebuah shopping mall terbesar di Teheran yang baru dibangun diubah peruntukannya untuk sementara menjadi rumah sakit berkapasitas 3000 tempat tidur.
Langkah selanjutnya adalah mandiri dalam memproduksi peralatan untuk menghadapi COVID-19. Di tengah sanksi ekonomi yang dihadapi, tidaklah mudah bagi Iran untuk mengimpor barang-barang dari luar. Itulah yang mendorong negara seperti Rusia, Pakistan dan Tiongkok mendesak Amerika Serikat untuk mengakhiri sanksi atas Iran sehingga tragedi kemanusiaan bisa dicegah. Namun, respon AS dibawah Donald Trump ketika itu tidak mengindahkan permintaan tersebut dan tetap memberlakukan sanksi atas Iran. Oleh karena itu, Iran berusaha memproduksi sendiri obat-obatan, masker, test kits dan ventilator dalam jumlah besar yang awalnya untuk kebutuhan domestik dan dalam perkembangannya ketika kebutuhan domestik sudah terpenuhi, produk-produk tersebut diekspor ke luar negeri.
Penulis: M. Muttaqien
Informasi detail dari artikel ini dapat diakses pada laman berikut: https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/21580
(Iran and COVID-19: Domestic Preparedness and International Sanctions)