Enam Bulan lalu, tepatnya saat eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membuka laju ekspor benih lobster, saya sempat menolak kebijakan tersebut. Alasannya sangat mendasar, awam, dan hanya memandang dari satu perspektif. Tentu saja terkait masalah keberlanjutan populasi lobster di alam dan perkembangan budidaya lobster dalam negeri.
Enam bulan lalu, saya hanya berpikir bahwa lobster akan sukses di dalam negeri, tidak perlu menjadi TKI di negeri orang lain, Crustacea itu akan hidup melimpah di alam negeri ini jika kita biarkan hewan itu hidup secara alami.
Enam bulan lalu, saya hanya berpikir bahwa teknologi budidaya lobster akan berkembang jika kita tutup keran ekspor dan membiarkan benih itu dibudidayakan oleh petani atau pembudidaya lokal.
Nyatanya, saat ini saya merasa keliru, karena enam bulan lalu terlalu lantang dalam menolak dan menganggap Edhy Prabowo adalah Menteri terburuk. Terlebih, saya adalah alumni Akuakultur yang seharusnya lebih paham terkait isu tersebut.
Semua anggapan saya sejak enam bulan lalu, akhirnya terpatahkan pada bulan November. Ketika media nasional ramai memberitakan Edhy Prabowo terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK, bahkan kini telah dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi dan monopoli ekspedisi benih lobster. Pasca pemberitaan itu, saya sempat berdiskusi dengan kawan-kawan kampus, dan hasil dari diskusi itu berhasil membuka nalar saya, bahkan terbentuk sebuah kompromi dalam pikiran saya.
Beberapa kawan diskusi saya memang telah terjun ke dunia perlobsteran duniawi, dan mereka menceritakan apapun yang sebenarnya tengah terjadi di lapangan.
Pertama, nalar saya tercerahkan ketika dibeberkan sebuah data yang menyatakan bahwa tingkat sintasan atau kelulushidupan lobster di alam, hanya 0,01%. Bahkan, data tersebut diperkuat oleh riset dari Carribean Sustainable Fisheries dan Australian Center for International Agriculture Research.
Lobster betina di alam mampu menghasilkan puluhan ribu hingga ratusan ribu telur dalam sekali memijah, namun hanya puluhan ribu saja yang mampu menjadi benur/benih lobster. Katakanlah satu indukan menghasilkan 10.000 benih lobster, artinya hanya satu ekor benur saja yang mampu bertahan hingga menjadi lobster dewasa, yang sering kalian makan dengan bangganya itu.
Pada bulan Mei lalu, Eks Menteri KKP Edhy Prabowo pernah mengetok Permen KP No. 12 Tahun 2020. Intinya keran ekspor lobster mulai dibuka. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa untuk menangkap benih lobster, harus sesuai kuota dan lokasi yang telah ditetapkan. Kemudian penangkapan benihnya juga harus dilakukan oleh nelayan kecil yang telah terdaftar.
Kegiatan ekspor juga diatur dalam Permen tersebut. Mulai dari kuota ekspor yang ditentukan secara berkala tergantung stok dalam negeri, menunjuk beberapa bandara saja sebagai pintu keluar utama lobster, hingga eksportir harus terdaftar secara resmi. Dan yang paling saya dukung dari aturan baru itu ialah, pada pasal 5 menyatakan bahwa pelaku eksportir harus melakukan kegiatan budidaya juga. Dengan ketentuan, eksportir tersebut telah berhasil panen secara berkelanjutan dan telah melepasliarkan lobster sebanyak 2% dari hasil panen. Sehingga dengan peraturan seperti itu, eksportir juga turut andil dalam menstabilkan populasi lobster di alam, jadi tidak hanya mengeksploitasi saja.
Berdasarkan peraturan tersebut, pembukaan keran ekspor tidak semata wayang hanya mementingkan eksportir, di lain sisi pun nelayan kecil terdampak positif. Tak hanya itu, pelepasliaran 2% lobster dari hasil budidaya, jika dihitung-hitung justru sangat membantu peningkatan populasi lobster di alam.
Jika hasil panen mencapai 10.000 ekor lobster, maka akan ada 200 ekor lobster yang akan dirilis ke alam kembali. Bandingkan dengan angka kelulushidupan lobster di alam, yang hanya mencapai angka 1 ekor per 10.000 benih. Bahkan, angka 200 ekor lobster yang dirilis tersebut tidak dalam jenis benih lobster yang masih bening, melainkan lobster berukuran sekitar 50 gram, yang tentunya lebih kuat dalam menghadapi kondisi alam dan serangan predator.
Kemudian akan muncul sebuah pertanyaan, “Mengapa masih tetap harus ekspor benih ke luar negeri? Bukannya cukup budidaya di dalam negeri lebih menguntungkan?,”
Jika kondisi budidaya lobster di Indonesia telah sukses dan menguntungkan, saya akan mendukung penuh pertanyaan itu. Faktanya, pembudidaya lokal pun belum mampu membudidayakan lobster dengan optimal. Jika ada, itupun memerlukan waktu sangat lama, lebih dari satu tahun, kualitasnya pun rendah, karena pakan dalam negeri tidak sebaik negara tetangga. Artinya tidak mampu mencapai kata profit.
Itulah mengapa Indonesia sudah seharusnya membuka keran ekspor lobster. Tujuannya adalah untuk menjalin hubungan baik dengan negara yang telah sukses mengembangkan teknologi budidaya lobster. Konsumen tertinggi benih lobster asal perairan Indonesia adalah negara Vietnam, karena memang Vietnam lah yang memiliki teknologi terbaik dalam budidaya lobster. Sehingga diharapkan, Indonesia mampu bekerjasama dengan Vietnam dalam hal teknologi budidaya lobster.
Setelah Indonesia memiliki ilmu budidaya lobster dari Vietnam, bisa saja langkah Indonesia adalah berdikari dengan menutup keran ekspor dan memanfaatkan SDA secara mandiri.
Permasalahannya, beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mencoba berdikari memanfaatkan SDA-nya secara mandiri, namun belum jelas caranya. Sehingga banyak sekali kasus penyelundupan yang terjadi. Karena pihak-pihak yang terjun ke bisnis lobster merasa jengah dengan peraturan yang ada, yang pada akhirnya hanya membuat rugi banyak pihak.
Sebetulnya masih banyak data dan fakta yang telah menciptakan kompromi pada diri saya terkait isu lobster tersebut. Tetapi pada akhirnya, jumlah kata juga mempengaruhi jumlah pembaca.
Saat ini, saya tidak mendukung pihak A atau pihak B, keduanya pasti memiliki sisi benar dan salah. Namun, saya hanya mengajak untuk melihat isu dari berbagai perspektif, sehingga akan tercipta sebuah kompromi yang mampu menguntungkan sebagian besar pihak. Karena tanpa kompromi, kita tidak akan mampu bertahan.
Penulis: Bastian Ragas (Alumni Fakultas Perikanan dan Kelautan)