Katarak merupakan penyakit di bidang mata yang masih menjadi problem global. Hingga saat ini, penyakit katarak masih menduduki urutan pertama dari penyebab kebutaan atau reversible blindness di dunia. Di Asia, diperkirakan 283 juta dari total penduduknya sebanyak 593 juta menderita katarak. Lebih dari 75% dari kasus tersebut ditemukan di regio Asia Tenggara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak negatif di kemudian hari karena hambatan penglihatan yang dialami oleh seseorang yang menderita katarak akan mengalami penurunan kualitas hidup, status sosial, hingga peningkatan angka morbiditas dan mortalitas (Masood, 2017; Song et al., 2018).
Tindakan ekstraksi atau operasi katarak merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi penyakit katarak. Beberapa komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi intraoperatif maupun pascaoperatif. Komplikasi intraoperatif yang sering terjadi antara lain adalah ruptur kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pascaoperatif yang masih seringkali dijumpai adalah timbulnya Posterior Capsule Opacity (PCO). PCO muncul sebagai akumulasi dari proses fibrotik dan respon inflamasi akibat perlukaan jaringan pascaoperasi katarak. (Sinha et al., 2013).
Pada kondisi pascaoperasi katarak, proses PCO dimulai dari sisa sel epitel lensa/ Lens Epitelial Cell (LEC) yang tertinggal di dalam capsular bag dan tumbuh menuju kapsul posterior. Peristiwa tersebut menimbulkan respon sitokin inflamasi terutama TGF-β untuk memicu terjadinya fibrosis. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Epithelial Mesenchymal Transition (EMT) serta ekspresi dari α- smooth muscle actin (α-SMA) yang menghasilkan kekuatan kontraktil dalam jaringan yang terluka. Peristiwa tersebut berlangsung secara kontinyu dan meningkatkan deposisi matriks ekstraselular sehingga menyebabkan kekeruhan pada kapsul posterior lensa. PCO dapat berkembang dalam hitungan bulan hingga tahunan. Akumulasi dari proses fibrotik pada PCO dapat menutupi area visual axis dan mengganggu tajam penglihatan. (Saika et al., 2014; Song et al., 2018).
Metformin dari golongan biguanide yang diketahui sebagai obat anti hiperglikemi diteliti memiliki efek antifibrotik maupun antimitotik. Metformin diteliti mampu menghambat sinyal ekspresi TGF-β yang merupakan kunci penting dalam proses pembentukan EMT sebagai mekanisme awalan dari fibrosis. Penelitian yang dilakukan Zheng dkk (2016) menyebutkan bahwa metformin dapat memberikan dampak penghambatan fibrosis jaringan melalui hambatan sinyal sitokin TGF-β pada jaringan tendon. Lasiste dkk (2018) melakukan penelitian efek metformin terhadap sel epitel lensa dengan model PCO secara in vitro dapat menyebabkan penurunan migrasi sel epitel lensa (Awasthi et al., 2009; Lasiste, 2018; Zheng et al., 2016).
Pada penelitian ini akan dilakukan studi in vitro pada kultur sel epitelial lensa dengan metode teknik scratching sebagai suatu model PCO. Mengetahui perbedaan tingkat ekspresi TGF-β dan α-SMA pada kultur sel epitel lensa model fibrosis kapsul lensa anterior dan kemudian diberikan perlakuan berupa metformin. Hasil penelitian ini mendapatkan konsentrasi Metformin tertentu memiliki efek hambatan fibrosis terbesar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hambatan fibrosis oleh metformin melalui penurunan Transforming Growth Factor-β juga terlihat dari hasil pewarnaan antibodi FITC TGF-β yang diamati dengan mikroskop fluorescence. Berdasarkan hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa pemberian Metformin memberikan penurunan kadar ekspresi α- SMA signifikan sesuai dengan Lasiste et al., 2018.Hal ini menunjukkan metformin efektif dalam menghambat migrasi sel epitel lensa sebagai salah satu bentuk perjalanan EMT.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian metformin mampu menekan kejadian fibrotik pada biakan sel epitel lensa melalui supresi ekspresi TGF-β dan ekspresi α-SMA.
Sebagai kesimpulan, pemberian metformin mampu menekan kejadian fibrotik pada biakan sel epitel lensa melalui supresi ekspresi TGF-β dan ekspresi α-SMA pada sel epitel lensa model fibrosis kapsul lensa secara in vitro. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian tahap berikutnya.
Penulis: Indri Wahyuni, Dyah Purwita Trianggadewi, Deya Karsari, Maftuchah Rochmanti, Nurwasis
Informasi detail dan riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: Biochem. Cell. Arch. Vol. 19, Supplement 2, pp. 4911-4915, 2019 ,