Eritropoiesis merupakah istilah untuk menunjukkan proses pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang. Eritropoiesis ini merupakan bagian dari hemopoiesis. Hemopoiesis sendiri meliputi eritropoiesis, leukopoiesis dan trombopoiesis. Eritropoiesis dalam keadaan normal terjadi, sebagai proses untuk menggantikan eritrosit yang mengalami penghancuran oleh organ lien akibat penuaan. Eritropoiesis ini akan meningkat aktivitasnya manakala kebutuhan eritrosit di sirkulasi meningkat, sebagai contoh pada keadaaan anemia.
Untuk dapat memulai proses eritropoiesis, maka sumsum tulang memerlukan signal berupa hormon dan sitokin. Hormon dan sitokin yang merangsang eritropoiesis ini diproduksi oleh organ dan sel lain di luar sumsum tulang. Seperti halnya hormone eritropoietin yang dihasilkan dari organ ginjal, glukokortikoid dihasilkan oleh kelenjar adrenal yang berada di atas ginjal, sedangkan sitokin berupa IL-3, IL-6 dihasilkan sel T, sel monosit, yang semuanya akan bersama-sama menuju sumsum tulang dan selanjutnya terikat pada reseptor sel progenitor eritroid di sumsum tulang.
Bagaimana eritropoiesis berlangsung?
Setelah hormon dan sitokin sebagai faktor pertumbuhan melekat pada reseptor sel progenitor, yaitu sel yang merupakan cikal bakal eritrosit, maka berikutnya akan mengaktivasi sinyal-sinyal untuk proliferasi sel progenitor. Tahapan pembelahan sel dimulai. Ada proses proliferasi dengan tahapan fase G1, sintesis, G2 dan mitosis. Sel selanjutnya membelah menjadi 2 anak sel yang sama, satu di antaranya melanjutkan tahapan maturasi sebelum menjadi eritrosit matur, dimulai dari pronormoblast, basofilik normoblast, ortokromik normoblast, polikromatofilik normoblast, retikulosit dan akhirnya eritrosit. Dari sel progenitor hingga tahapan retikulosit ini terjadi di sumdum tulang. Retikulosit selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi dan matang menjadi eritrosit dalam waktu 24 jam di sirkulasi.
Proses pembentukan hemoglobin
Proses proliferasi ini diikuti dengan proses pembentukan hemoglobin di dalam sel. Molekul hemoglobin terdiri dari heme dan globin. Maka ada proses pembentukan heme dan globin. Heme terbentuk dari inkorporasi besi pada protoporfirin. Besi diperoleh dari intake besi dari makanan, lalu setelah melewati proses penyerapan di usus, besi beredar di sirkulasi dan diangkut oleh protein transferrin hingga sampai pada sel progenitor dan normoblast di sumsum tulang, di dalam sel besi akan berinkorporasi dengan protoporfirin yang disintesis di dalam sel.
Pada waktu yang bersamaan, sel juga mensintesis protein globin sebagai perintah dari DNA pengkode di kromosom 11 dan 16 sehingga dihasilkan rantai globin alfa dan non-alfa. Setiap molekul globin normal akan berpasangan 2 rantai alfa dan 2 rantai non-alfa. Apabila protein globin telah terbentuk akan mengikat molekul heme dan terbentuklah molekul baru hemoglobin. Molekul hemoglobin ini selanjutnya mengangkut oksigen di dalam eritrosit.
Hepsidin dan Eritropoiesis
Peningkatan aktivitas eritropoitin secara signifikan menurunkan kadar hepsidin. Produksi eritropoitin sebagai respon normal terhadap rangsangan hipoksia yang bertanggung jawab atas ekspansi eritron normal tanpa eritropoisis berlebihan. Growth differentiation factor 15 (GDF 15) dan twisted gastrulation I (TWSGI) yang diliris sebagai hasil dari respon tersebut, pada akhirnya menekan sintesis hepsidin. Aktivasi eritropoitin merupakan proses utama yang terjadi pada keadaan hipoksia akut, hal ini menyebabkan terjadinya proses eritropoisis yang meningkat, membutuhkan zat besi yang cukup untuk hemoglobinisasi sel darah merah. Produksi dan hemoglobinisasi jalur eritroid dapat terus terjadi jika regulasi hepsidin menurun.
Inflamasi dan infeksi meningkatkan sintesis hepsidin. Pasien dengan sepsis, inflammatory bowel disease, myeloma, luka bakar, dan C-reactive protein (CRP) > 10 mg/dL menunjukkan peningkatan yang signifikan kadar hepsidin. Makrofag dirangsang selama proses proses inflamasi tergantung dari beratnya inflamasi. Makrofag yang aktif mengeluarkan sitokin khususnya sitokin pro inflamasi. Interleukin 6 merupakan salah satu sitokin utama yang menginduksi ekspresi hepsidin, dan peningkatan kadar hepsidin akhirnya menghasilkan hipoferremia. Hepsidin menghambat pengeluaran besi dari makrofag serta penyerapan zat besi di usus.
Dalam keadaan inflamasi, produksi hepsidin tidak lagi diatur oleh beban besi (misalnya kadar besi rendah, sintesis hepsidin harusnya regulasinya menurun) namun sintesis hepsidin cenderung meningkat melalui stimulasi interleukin 6. Besi dalam serum menunjukkan peranan sintesis hepsidin pada individu sehat, di mana kehadiran awal hepsidin dalam urin diukur setelah pemberian zat besi oral yang tidak mempengaruhi penyimpanan zat besi. Besi serum adalah sinyal induksi untuk produksi hepsidin dan memengaruhi persentase saturasi transferin serum. Pada kasus inflamasi, hepsidin juga diproduksi oleh sel myeloid melalui aktivasi TLR4 yang merupakan reseptor berlokasi di membran neutrofil dan makrofag.
Penulis: Yetti Hernaningsih
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: