Empat dekade sudah berlalu sejak pertama kali ditemukannya penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penyakit yang disebabkan oleh transmisi HIV (Human Immunodeficiency Virus) ini masih menjadi salah satu masalah global, terutama di negara berkembang. Pada tahun 2016, Kementerian Kesehatan mencatat 7.491 kasus HIV/AIDS baru di Indonesia. AIDS menyerang sistem imun, dan menyebabkan penderitanya rentan terhadap berbagai macam infeksi, termasuk kandidiasis oral. Kandidiasis oral terjadi ketika ada infeksi jamur di rongga mulut. Penyebab terbanyak kandidiasis oral adalah Candida albicans. Terdapat berbagai macam obat antifungal yang digunakan untuk terapi kandidiasis oral, seperti nistatin, ketokonazol, dan flukonazol. Beberapa studi menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap obat antifungal pada pasien HIV/AIDS. Banyak faktor yang menyebabkan resistensi ini, baik itu faktor intrinsik dari jamur penyebab penyakit, maupun faktor ekstrinsik seperti meningkatnya penggunaan antifungal, juga dosis serta durasi terapi antifungal yang tidak semestinya.
Kami melakukan penelitian pada pasien dengan kandidiasis oral yang dirawat di UPIPI (Unit Perawatan Intermediate Penyakit Infeksi) RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari bulan Mei hingga September 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies Candida penyebab kandidiasis oral, serta melihat pola resistensi terhadap tiga obat antifungal yaitu nistatin, ketokonazol, dan flukonazol.
Kami melakukan pengambilan spesimenrongga mulut dari 26 pasien yang dirawat di UPIPI dengan diagnosis kandidiasis oral. Setelah itu, spesimen ditumbuhkan di media CHROMagar™. Identifikasi spesies dilakukan dengan Cornmeal agar-Tween 80 dan tes karbohidrat. Spesies yang sudah teridentifikasi kemudian dilakukan tes resistensi menggunakan metode difusi cakram pada media Mueller Hinton dengan glukosa 2% dan methylene blue. Observasi dilakukan selama 24-48 jam sampai pola resistensi terhadap ketiga jenis obat antifungal dapat diketahui.
Dari hasil penelitian ini, kami dapatkan bahwa 56% (28 spesimen) adalah spesies Candida non-albicans dan 44% (22 spesimen) adalah Candida albicans. Spesies Candida non-albicans yang kami temukan adalah Candida tropicalis (9 spesimen), Candida glabrata (8 spesimen), Candida krusei (7 spesimen), dan beberapa spesies yang jarang ditemukan (Candida parapsilosis, Candida dubliniensis, dan Candida guilermondii). Selanjutnya, dari hasil uji resistensi, kami temukan bahwa tidak ada isolat yang resisten terhadap nistati, 10.7% isolat resisten terhadap ketokonazol, dan 46% isolat resisten terhadap flukonazol. Kebanyakan spesies Candida yang resisten terhadap flukonazol adalah Candida non-albicans.
Meningkatnya jumlah Candida non-albicans sebagai penyebab kandidiasis oral adalah sebuah masalah yang cukup mengkhawatirkan, karena kebanyakan spesies ini resisten terhadap kelompok obat azol. Hasil penelitian kami selaras dengan literatur lain yan gmenyebutkan bahwa kebanyakan
Candida non-albicans resisten terhadap flukonazol. Walaupun sama-sama berasal dari kelompok obat azol, ketokonazol relatif memiliki sensitivitas yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Khan di India pada tahun 2015. Oleh karena itu, nistatin masih menjadi obat pilihan utama terapi kandidiasis oral. Walaupun memiliki sensitivitas sebesar 98%, kita perlu mewaspadai peningkatan resistensi terhadap nistatin. Penelitian di India tahun 2015 menunjukkan bahwa terdapat 2,8% isolat yang resisten terhadap nistatin. Hal ini kemungkinan disebabkan karena beberapa spesies jamur memiliki gugus sterol pada membran plasmanya, yang mengurangi afinitas nistatin terhadap jamur tersebut.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa spesies Candida non-albicans ditemukan lebih banyak daripada Candida albicans yang selama ini dikenal sebagai penyabab terbanyak kandidiasis oral. Selain itu, kami menemukan peningkatan resistensi terhadap obat golongan azol, terutama flukonazol. Nistatin memiliki sensitivitas yang lebih baik dan tetap merpakan pilihan terapi utama pada kasus kandidiasis oral. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian dokter saat sedang meresepkan terapi antifungal, khususnya pada pasien dengan HIV/AIDS.
Penulis: dr.Dwi Murtiastutik,Sp.KK(K)
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/10761
(Sensibility Test ff Candida Species Against Nystatin, Ketoconazole, and Fluconazole on Oral Candidiasis with Hiv/Aids Using Disc Diffusion Method)