Kambing kacang merupakan local khas di Indonesia yang merupakan plasma Nutfah Indonesia. Kambing lokal merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia, bentuk tubuhnya kecil dan secara ekonomi mungkin tidak menguntungkan dibandingkan dengan kambing luar tetapi mempunyai beberapa keuntungan antara lain mudah beradaptasi karena memang asli Indonesia dan biaya perawatan tidak mahal. Kambing lokal ini keberadaanya teracam punya karena adanya introduksi teknologi Inseminasi Buatan (IB) dan import kambing besar lainnya seperti kambing Boer dari Australia.
Banyaknya import kambing ukuran besar menyebabkan kambing lokal menjadi terpinggirkan, apalagi saat ini belum dilakukan pusat pemulihan kambing lokal. Penguatan teknologi in vitro Yaitu Maturasi Invtro, Fertilisasi In Vitro dan Kultur In Vitro yang merupakan rangkai mengahsilkan embrio kambing kacang dalam jumlah banyak, diperlukan untuk menolong kambing kacang ini supaya tidak terpinggirkan dan tidak punah.
Tingkat kematangan oosit kambing Kacang setelah maturasi in vitro (IVM) sebagai model penelitian akan menentukan kualitas embrio dari fertilisasi in vitro (IVF). Pada proses maturasi in vitro diperlukan system kultur yang stabil dan kualitas oosit sebagai sumber oosit yang bagus. Sel cumulus mempunyai peran penting cumulus selama proses maturasi untuk transportasi nutrisi kedalam oosit. Oosit matang sempurna ditandai oleh pembentukan metafase II yang akan mendukung perkembangan embrionik.
Tujuan penelitian dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran cumulus terhadap tingkat maturasi oosit Kambing Kacang setelah IVM berdasarkan ekspansi kumulus. Oosit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari limbah ovarium yang diambil dari rumah potong hewan. Oosit dikoleksi dikumpulkan dengan metode aspirasi. Penelitian ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan I (P1) yaitu oosit dengan dikelilingi cumulus lebih dari 3 lapis. Kelompok perlakukan II (P2) adalah oosit gundul atau yang dikeliling cumulus hanya 1 lapis. Semua oosit dimatangkan dalam medium EBSS yang dilengkapi dengan Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan Human Chorionic Gonadotropin (HCG) (PG600®, Intervet, Boxmeer, Holland) pada incubator CO2 5 % suhu 38.5 oC selama 22 jam.
Pemeriksaan tingkat kematangan oosit Setelah IVM, tingkat maturasi kumulus-oosit kompleks diperiksa secara oosit secara mikroskopis menggunakan mikroskopis berdasarkan ekspansi cumulus dan adanya Polar bodi I. Oosit matang ditandai dengan ekspansi cumulus dan terbentukanya Polar bodi I, sedangkan oosit yang belum matang menunjukkan tidak ada ekspansi kumulus dan tidak terbentuk ada Polar bodi I. Hasil menunjukkan tingkat maturasi pada kelompok perlakuan I jumlah oosit matang 59.26 % dan yang tidak matang 40.74 %, Sedangkang pada kelompok perlakuan II jumlah oosit matang mencapai 49.37 % dan oosit yang tidak matang sekitar 50.63 %.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan Kesimpulan adalah bahwa tingkat kematangan oosit kambing kacang dengan cumulus tebal cukup bagus dibandingkan oosit gundul. Dapat disimpulkan bahwa pada proses pematangan oosit secara in vitro, kumulus memiliki peran yang sangat penting pada proses maturasi oosit kambing Kacang. Tingkat kematangan oosit dapat mendukung perkembangan embrio setelah IVF.
Penulis: Widjiati
Widjiati, Z Faizah, N Darsini, VF Hendrawan, EM Luqman, SB Sumitro. 2020. The Role of Cumulus in the in vitro Maturation Process towards the Maturation Level of Kacang Goats (Capra Aegagrushircus). Journal of International Dental & Medical Research.13(3): p1211-1216. 6p