Tuberkulosis (TB) adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (M.tb). Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal 2018, diperkirakan 10 juta orang di dunia menderita infeksi TB, terutama di negara berkembang dan berpenghasilan rendah. Insiden TB yang tinggi di sebagian besar negara tersebut biasanya dikaitkan dengan prevalensi infeksi cacing yang tinggi dan efektivitas vaksinasi Bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang rendah.
Ada perdebatan tentang dampak infeksi cacing pada infeksi TB. Infeksi cacing diketahui menyebabkan perubahan pada tanggapan kekebalan yang merusak pertahanan tubuh terhadap infeksi TB. Perdebatan tentang pengaruh infeksi cacing terhadap beratnya TB perlu diselesaikan secepatnya agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan yang tepat. Sehingga akan mengurangi upaya dan biaya yang telah dikeluarkan untuk pencegahan dan pengobatan TB. Mycobacterium tuberculosis (M.tb) adalah basil intraseluler fakultatif parasit. Respon imun utama untuk menghilangkan TB adalah imunitas seluler yang dimainkan oleh makrofag, limfosit CD4+ T yang mengeluarkan IFN-γ, limfosit CD8+ T yang menghilangkan makrofag yang terinfeksi mikobakteri, serta limfosit T γδ.
Respon ini membutuhkan sitokin tipe Th1 yang kuat. Sebaliknya, infeksi cacing merangsang aktivasi eosinofil, sel mast, basofil, dan pembentukan IgE, yang merupakan bagian dari respons imun tipe Th2. Respon imun tipe Th2 yang dominan dapat melawan respon imun tipe Th1 melalui penekanan oleh IL-4. Jadi, secara teoritis, infeksi cacing dapat menekan respon imun terhadap infeksi TB, tetapi banyak penelitian pada hewan dan manusia sebelumnya memberikan hasil yang bertentangan. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan strain mycobacteria dan spesies helminthes yang digunakan, interval koinfeksi, atau lamanya infeksi.
Telah dilakukan penelitian infeksi sekuensial M.tb dengan model standar nematoda mencit (Heligmosomoides polygyrus). Untuk memastikan kronisitas infeksi nematoda diperlukan selang waktu minimal 8 minggu sebelum mencit koinfeksi dengan M.tb. Infeksi nematoda kronis diketahui memicu respons sel T regulatori (Treg). Treg dapat mempengaruhi keseimbangan respon imun Th1 dan Th2. Keseimbangan Th1—Th2 juga akan mempengaruhi fungsi makrofag dalam mengatasi infeksi mikobakteri.
Penelitian ini menggunakan 49 mencit yang dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan, dengan urutan infeksi M.tb yang berbeda melalui inhalasi dan H.pg melalui oral ingestion selama 8 dan 16 minggu. Respon sel T di paru, usus, dan darah perifer ditentukan dengan flow cytometry. Sitokin (IL-4, IFN-g, TGB-b1, dan IL-10) diukur dalam darah perifer menggunakan ELISA. Polarisasi makrofag paru ditentukan oleh ekspresi iNOS (M1) atau Arginase 1 (M2). Penghitungan mikobakteri dilakukan di jaringan paru-paru. Histopatologi paru diukur menggunakan skor semikuantitatif Dorman yang menilai pembentukan peribronchiolitis, perivaskulitis, alveolitis, dan granuloma.
Infeksi M.tb menyebabkan respon Th1 dan polarisasi makrofag M1, sedangkan infeksi H.pg menyebabkan polarisasi Th2 dan M2. Pada koinfeksi berurutan, polarisasi akhir makrofag ditentukan oleh urutan koinfeksi. Namun, semua kelompok dengan infeksi M.tb menunjukkan derajat yang sama dari jumlah mikobakteri pada jaringan paru dan perubahan histopatologi jaringan paru. Koinfeksi berurutan dari H.pg dan M.tb menginduksi respon sel T yang berbeda yang mengarah pada polarisasi makrofag yang berbeda di jaringan paru-paru. Infeksi cacing menyebabkan M2.
Penulis: Dr. Gatot Soegiarto, dr., Sp.PD, K-AI
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0019570720302055?via%3Dihub
Wulandari L et al. Sequential co-infection of Heligmosomoides polygyrus and Mycobacterium tuberculosis determine lung macrophage polarization. Indian Journal of Tuberculosis. https://doi.org/10.1016/j.ijtb.2020.10.008