Penggunaan antibiotik dalam peternakan memberikan manfaat bagi hewan dan peternak, namun dapat menimbulkan risiko resistensi antibiotik. Penggunaan antibiotik tanpa indikasi yang jelas menyebabkan banyak jenis bakteri menjadi resisten. Di negara berkembang, termasuk di Indonesia, data tentang prevalensi resistensi antibiotik sangat sedikit ditemukan. Pengembangan sistem surveilans yang efektif perlu dilakukan, untuk memantau munculnya resistensi antibiotik. Penggunaan antibiotik pada hewan dapat mendorong berkembangnya resistensi antibiotik, salah satunya Escherichia. Escherichia coli yang menghasilkan beta laktamase spektrum luas (ESBL).
Beta laktamase spektrum luas, merupakan enzim yang menyebabkan resistensi terhadap spektrum antibiotik yang lebih luas, seperti sefalosporin generasi ketiga dan monobaktam tetapi tidak mempengaruhi cephamycin atau karbapenem yang menyebabkan resistensi sehingga antibiotik menjadi tidak efektif. Paparan antibiotik beta laktam dalam jumlah besar secara terus menerus menginduksi produksi dan mutasi enzim beta laktamase. Beta laktamase spektrum luas berasal dari enzim beta laktamase yang bermutasi. Mutasi ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatis beta laktamase, sehingga enzim ini dapat menghidrolisis sefalosporin generasi ketiga dan aztreonam. Bakteri penghasil beta laktamase spektrum luas juga dapat resisten terhadap antibiotik dari aminoglikosida, fluoroquinolon, tetrasiklin, kloramfenikol, dan sulfametoksazol-trimetoprim.
Beta laktamase spektrum luas hadir dalam gen yang bermutasi. Gen beta laktamase spektrum luas sering ditemukan yaitu jenis cefotaximase (CTX-M), temoneira (TEM), dan variable sulfhydryl (SHV). Gen CTX-M, TEM, dan SHV dalam Escherichia E. coli penghasil ESBL adalah gen yang menyandikan dan menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis cincin beta laktam dari antibiotik beta laktam dan sefalosporin generasi ketiga. Diagnosis dengan deteksi molekuler adalah pengujian cincin beta laktam dari antibiotik golongan beta laktam dan sefalosporin. Konfirmasi genotipe untuk melihat keberadaan gen penyandi ESBL pada bakteri Escherichia E. coli dapat dilakukan dengan menggunakan PCR. Prevalensi bakteri penghasil ESBL tertinggi dengan CTX-M, TEM dan SHV merupakan jenis ESBL yang paling umum pada unggas.
Di Blitar, agen antimikroba digunakan untuk unggas tanpa pengarahan yang tepat tentang dispensasi obat. Pemantauan toko obat yang tidak memadai di Blitar memudahkan masyarakat untuk mengakses antibiotik ternak tanpa mengikuti anjuran dokter hewan sehingga meningkatkan risiko ESBL pada produk unggas. Begitu pula dengan kondisi yang dilaporkan di peternakan sapi perah di Jawa Timur. Prevalensi tinggi yang diamati mungkin karena seringnya penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol untuk kesehatan hewan yang pada gilirannya meningkatkan risiko Escherichia E. coli, menjadi lebih resisten terhadap strain antimikroba pada flora usus normal.
Gen Escherichia E. coli penghasil ESBL dominan yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah cluster CTX dengan 80% yang relatif tinggi dalam kaitannya dengan 54,5% pembawa CTX Escherichia E. coli yang diisolasi dari unggas di Inggris. Di Blitar, kondisi ekonomi yang terjadi menyebabkan banyak warga yang beternak ayam petelur sebagai usaha penghasil pendapatan. Inilah yang membawa manusia ke dalam kontak dekat dengan unggas yang dapat menjadi jalur yang memungkinkan untuk pertukaran bakteri penghasil ESBL di lingkungan.
Namun, belum ada studi rinci yang dilakukan di Indonesia untuk secara spesifik menjelaskan jenis Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang berasosiasi dengan ayam dan produknya. Studi produk unggas lainnya memperjelas keberadaan gen ESBL dari Enterobacteriaceae. Selain itu, peneliti lain juga menunjukkan bahwa ESBL menghasilkan isolat Escherichia E. coli yang membawa beberapa jenis gen beta laktamase dan kombinasi CTX-dominan diikuti kluster TEM.
Penelitian ini menggunakan uji kepekaan antimikroba dengan VITEK® 2 compact pada isolat ESBL ini mengungkapkan pola yang menarik dengan tingkat resistensi yang diamati pada sebagian besar agen antimikroba yang diuji. Hasil isolat ESBL dengan kerentanan antimikroba 100% adalah toto amoksisilin, ampisilin, sefazolin, sefotaksim dan seftriakson, sedangkan dari isolat ESBL hasil dan lebih dari 70% resisten terhadap gentamisin, aztreonam, trimetoprim / sulfametozale. Pada penelitian ini ditemukan bahwa isolat ESBL penghasil Escherichia E. coli memiliki ketahanan terhadap 2 antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Oleh karena itu, hal ini menegaskan bahwa plasmid yang dimediasi ESBL mampu membawa lebih dari satu gen beta laktamase dan dengan demikian menghasilkan fenotipe resistensi beta-laktam tingkat tinggi.
Kesimpulannya, identifikasi molekuler gen CTX, TEM, dan SHV pada Escherichia E. coli penghasil ESBL pada swab kloaka ayam petelur di Kabupaten Blitar, dominan pada gen penyandi CTX sebanyak 8 (8/10, 80%), diikuti oleh TEM gen pengkode 2 (8) 2/10, 20%), sedangkan gen pengkode SHV adalah 1 (1/10, 10%). Ditemukan satu isolat ESBL penghasil Escherichia E. coli yang mengandung 2 gen penyandi ESBL. Hasil ini juga menunjukkan adanya isolat ESBL yang 100% resisten terhadap beberapa antibiotik dan juga penyebaran yang lebih luas pada ayam petelur di Blitar yang dapat mengancam kesehatan hewan dan kesehatan manusia.
Penulis: Mustofa Helmi Effendi
Informasi detail dari kajian ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
Wibisono, F.J., Sumiarto, B., Untari, T., Effendi, M.H., Permatasari, D.A., Witaningrum, A.M. Short Communication: Pattern of antibiotic resistance on extended-spectrum beta-lactamases genes producing Escherichia coli on laying hens in Blitar, Indonesia. Biodiversitas, 2020; 21 (10): 4631- 4635.