UNAIR NEWS – Universitas Airlangga (UNAIR) sejak awal berdirinya sudah dikenal dengan basic science yang sangat kuat. Hal tersebut ditunjang dengan adanya tiga rumpun kedokteran, yaitu Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Kedokteran Hewan. Perannya juga didukung oleh Fakultas Farmasi yang merupakan fakultas yang sangat berorientasi pada keilmuan farmasi kedokteran. Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-66 Universitas Airlangga (UNAIR), Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlanga pada Minggu (15/11), mengadakan webinar bertajuk “E-R/ Untuk Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan, Apoteker Tatalaksana dan Aplikasi di Indonesia”.
Hadir dalam kegiatan tersebut pembicara yang sangat ahli dibidangnya yaitu Dra. Togi J Hutajulu, Apt., MHA (Direktur Standarisasi obat BPOM), Prof. Dr. Mochamad Lazuardi, drh., M.farm. (Dosen Ilmu Farmasi Veteriner FKH UNAIR dan Anggota Komisi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI), Dr. Siti Farida, dr., M.Kes., Ph.D. (Dosen Ilmu Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Drg. Okky Prasetio SpBM (K) (Kepala SMF Poli Gigi dan Mulut RSUD dr.Moh.Soewandhie, Surabaya), serta Dr. Irasari Yudanianti, drh., M.P (Direktur Rumah Sakit Hewan Pendidikan UNAIR)
Prof. Lazuardi saat diwawancai tim UNAIR NEWS menyampaikan bahwa kegiatan ini dilatar belakangi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu sistem pengawasan obat di era digital yang semakin marak menjadi tantangan yang besar untuk keamanan dan mutu obat tersebut. Selain itu, lanjutnya, berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19. Terkait hal tersebut, tandasnya, adanya pemberlakuan resep elektronik baik resep elektronik terbuka maupun tertutup perlu pengawasan yang lebih ketat.
“Tujuan baik resep elektronik yang awalnya dapat mempermudah masyarakat khususnya pada kondisi pandemi ini harus tetap dalam pengawasan. Kita harus waspada terhadap oknum yang menyelewengkan hal tersebut, misalnya penggunaan obat manusia untuk hewan yang dapat memungkinkan terjadinya Antibiotic Microbial Resistance bahkan sampai terjadinya New Emerging Disease,” ujar Prof. Lazuardi.
Ke depannya, tatalaksana layanan jasa resep elektronik di Indonesia harus memiliki satu sistem yang disebut dengan Big Data. Hal tersebut, sambungnya, tentu akan mempermudah layanan serta pengarahan aturan pakai obat oleh dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
Selain itu, tambahnya, Big Data dapat digunakan untuk menganalisis pola hubungan penyakit zoonosis, evaluasi penggunaan antibiotik, biaya obat, meminimalisir adanya black market of drug dan yang paling terpenting yaitu kolaborasi multi sektoral dapat berjalan dengan baik.
“Resep elektronik harus dipertimbang dengan matang agar prinsip pengobatan dapat dicapai dengan maksimal. Kita berharap perkembangan teknologi dapat dimanfaatkan dengan baik termasuk pada pelayanan kesehatan dari dokter, dokter gigi serta dokter hewan dengan kembali berbasis pada lingkungan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Muhammad Suryadiningrat
Editor: Nuri Hermawan