Atopik dermatitis merupakan suatu inflamasi pada kulit yang kronis dan berulang sehingga menyebabkan morbiditas, menurunkan kualitas hidup, dan berdampak pada kondisi psikologi dan ekonomi. Atopik dermatitis kebanyakan menyerang bayi dan anak-anak dan 50% kasus menghilang pada masa remaja namun bisa saja menatap atau baru mulai muncul di masa remaja. Penyakit ini biasanya dihubungkan dengan gejala penyakit atopik lain seperti rhinitis, konjungtivitis, dan asma. Prevalensi atopik dermatitis meningkat dengan cepat seiring industrialisasi sedangkan negara agraris seperti China, Eropa Timur, dan Asia Tengah prevalensinya lebih rendah. Berdasarkan survei di Amerika Serikat, prevalensi atopik dermatitis dewasa adalah 10,2% dalam satu tahun sedangkan di Indonesia hanya berkisar 7,3% pada kelompok usia 15-24 tahun.
Atopik dermatitis dikarakteristikkan dengan ekspresi sel T-helper (Th) 2 yang dominan yang dihubungkan dengan peningkatan infiltrasi sel imun ke kulit dan peningkan IgE. Sel T ini menyebabkan apoptosis atau kematian keratinosit sehingga menganggu fungsi kulit sebagai pelindung atau barrier tubuh. Hal ini dapat menyebabkan infeksi serta komplikasi lain. Selain sel Th 2 yang meningkat, pada atopik dermatitis juga terdapat peningkatan sitokin-sitokin lain yaitu interleukin (IL)-4, IL-5, IL-13 yang berhubungan dengan eosinophilia serta peningkatan total serum IgE. Semakin banyak Th2 yang diproduksi maka semakin banyak produksi IgE dan eosinofil. Sedangkan sel Th1 utamanya memproduksi IFN-γ dan IL-12 yang akan menurunkan produksi IgE dan meningkatkan regulasi dari antibody IgG. Selain sitokin-sitokin di atas juga tedapat sitokin lain yang berperan pada atopik dermatitis yaitu IL-17 yang diproduksi oleh Th17 banyak dijumpai pada lesi kulit akut penderita atopik dermatitis. Sel Th17 dan Foxp3+ Treg yang memproduksi sel T (TR1) juga berperan penting untuk mengontrol gejala local dan sistemik atopik dermatitis. Keseimbangan dari sel Th1, Th2, Th17, dan Treg sangat diperlukan untuk mengontrol gejala atopik dermatitis.
Sebenarnya hingga sekarang belum ada terapi yang fokus untuk menyeimbangkan sel-sel imun tersebut. Oleh sebab itu terapi atopik dermatitis hanya untuk mengurasi gejala atau hanya berupa terapi simptomatik saja. Hidrasi kulit, pelembab, penghindaran alergen, serta penggunaan antihistamin atau kortikosteroid dapat digunakan saat terjadi kekambuhan. Namun terapi sistemik seperti menggunakan kortikosteroid ini menimbulkan efek samping karena digunakan dalam jangka waktu lama dan terlebih pada pasien dewasa yang lebih resisten dengan pengobatan topikal. Oleh karena itu tetap diperlukan penelitian untuk menemukan terapi yang fokus untuk menyeimbangkan ekspresi sel Th1 dan Th2 pada penderita atopik dermatitis, salah satunya yaitu penggunaan probiotik. Probiotik dapat digunakan sebagai terapi alternatif atau tambahan karena memiliki efek imunomodulator. Penelitian pada penderita atopik dermatitis anak-anak menunjukkan probiotik dapat meningkatkan ekspresi sel Th1 sehingga menyeimbangkan sel-sel imun. Penggunaan probiotik pada dewasa juga terbukti dapat meningkatkan produksi IL-10 dan IFN-γ serta menurunkan produksi IgE dan sekresi TNF-α, IL-5, dan IL-17. Probiotik juga meningkatkan kualitas hidup penderita karena menurunkan keluhan gatal, gangguan tidur, dan kulit kering.
Beberapa efek positif penggunaan probiotik ini mendorong sekelompok dokter di RSUD Dr.Soetomo Surabaya untuk meneliti efikasi probiotik pada pasien atopik dermatitis ringan hingga sedang pada dewasa (>14 tahun). Probiotik yang digunakan yaitu Lactobacillus plantarum (LP) IS-10506 yang didapatkan dari dadih, suatu fermentasi tradisional dari susu kerbau di Sumatera Selatan. Sebanyak 30 pasien yang memenuhi kriteria menjadi subjek dalam penelitian ini. Tiga puluh orang tersebut dibagi dalam dua kelompok secara acak yaitu diberi probiotik dan kelompok lain hanya diberi plasebo. Penelitian ini dilakukan secara double-blinded dimana peneliti dan penderita tidak tahu pasien tersebut diberi prebiotik atau plasebo. Sebelum penelitian dimulai, subjek telah diambil beberapa data untuk dijadikan baseline yang akan dibandingkan dengan setelah perlakuan. Data yang akan diambil yaitu SCORAD (Scoring Atopik Dermatitis Index), IgE, IL-4, IFN-γ, IL-17, dan Foxp3+. Penelitian ini dilakukan selama 8 minggu.
Hasilnya tidak terdapat perbedaan baseline pada kelompok yang diberikan prebiotik dan plasebo. Pada penelitian ini ekspresi Th2 dilihat dari kadar IL-4 sedangkan ekspresi Th1 dilihat dari kadar IFN-γ. Kedua kelompok menunjukkan penurunan kadar IL-4 namun penurunan lebih banyak pada kelompok yang diberikan probiotik. Kadar IFN- γ juga lebih tinggi pada kelompok probiotik. Prebiotik terbukti dapat menurunkan Th2 dan meningkatkan ekspresi Th1 sehingga dapat menyeimbangkan sel-sel imun. Meskipun tidak terdapat perubahan bermakna pada kadar IgE namun pada kelompok probiotik mempunyai kadar IgE yang lebih rendah. Kelompok yang diberi probiotik juga mengalami peningkatan kadar Foxp3 yang merupakan penanda aktivasi Treg dan terdapat penurunan rasio IL-17/limfosit T CD4+. Oleh karena ada perbaikan pada kadar-kadar sel imun di atas maka tentunya keluhan juga mengalami perbaikan. Penelitian lain juga melaporkan hal yang sama yaitu ada perbaikian gejala klinis pada pasien yang diberikan probiotik.
Kesimpulan yang didapat pada penelitian yang menggunakan probiotik LP IS-10506 yaitu terdapat perbaikan gejala klinis karena probiotik dapat menurunkan ekspresi sel Th2 dan peningkatan ekspresi Th1. Probiotik LP IS-10506 yang didapatkan dari dadih dapat menjadi kandidat potensial untuk terapi tambahan pada pasien atopik dermatitis namun masih diperlukan penelitin klinis yang lebih banyak jumlah sampel serta waktu pengamatan yang lebih lama.
Penulis : Prof.Dr.Cita Rosita Sigit Prakoeswa,dr.,Sp.KK(K)
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09546634.2020.1836310
(Beneficial effect of Lactobacillus plantarum IS-10506 supplementation in adults with atopic dermatitis: a randomized controlled trial)